Tampilkan postingan dengan label Eka Kurniawan. Tampilkan semua postingan

10.000 Jam Latihan (dan Mungkin Ketololan)

(image from: pinterest.com)


Oleh: Eka Kurniawan

Menurut penelitian Malcolm Gladwell (bukunya Outliers), dibutuhkan 10.000 jam latihan yang penuh dedikasi untuk menghasilkan orang sukses. Itu bisa dipelajari dari para pemain biola hebat, pemain skate, juga The Beatles dan Bill Gates. Melebihi bakat dan keberuntungan (ya, mungkin saja ada faktor ini meskipun kecil), latihan penuh dedikasi dan komitmen melakukannya dalam rentang waktu yang lama, memberi hasil yang jauh lebih nyata. Bagaimana dengan penulis? Saya rasa tak jauh berbeda. Dibutuhkan komitmen dan dedikasi untuk berlatih, dengan cara membaca dan menulis, selama itu. Ya, tak ada yang mudah, memang. Jika kita mendedikasikan waktu 3 jam sehari (secara konsisten, setiap hari) untuk membaca dan menulis, kurang-lebih kita membutuhkan waktu 10 tahun untuk “terlatih”. Artinya, jika berharap menjadi terlatih di umur 20 tahun, seorang anak harus terus berlatih, membaca dan menulis, setiap hari sejak umur 10 tahun! Jika komitmen ini baru dimulai umur 18 tahun, keahlian itu mungkin baru didapat umur 28 tahun. Jika hanya memiliki komitmen untuk membaca dan menulis sebanyak satu jam setiap hari (sekali lagi, setiap hari tak terputus), kita membutuhkan 30 tahun. Mulai umur 10 tahun, baru terlatih di umur 40 tahun. Berat. Memang berat. Di dunia ini, dari miliaran manusia, memang hanya sedikit yang muncul ke puncak. Karena memang hanya sedikit yang punya komitmen waktu seperti itu. Hanya sedikit yang memperoleh medali emas Olimpiade. Hanya sedikit yang menjadi juara dunia. Dan di antara jutaan penulis di dunia, tentu hanya segelintir yang karyanya terus dibaca, dari generasi ke generasi. Entah berapa banyak jam dihabiskan Shakespeare untuk menulis, membaca dan berada di gedung teater setiap hari. Jelas lebih banyak daripada kebanyakan kita. Tentu saja untuk mendaki puncak itu, tak melulu mengenai 10.000 jam. Anda bisa mengikuti riset Gladwell mengenai hal ini. Tapi yang paling menohok saya adalah salah satu hal penting ini: “Jangan habiskan waktu untuk hal-hal kecil”, yang tak berguna untuk karirmu, tak berguna banyak untuk bidangmu. Dalam skema 10.000 jam berlatih, waktu memang memegang peranan penting. Waktu sangat terbatas. Menghabiskan 3 jam sehari saja, kita butuh 10 tahun. Saya tak tahu persis apa “hal-hal kecil” dalam karir menjadi seorang penulis, kalaupun kita merumuskannya, barangkali banyak orang tak bersepakat dan berakhir dengan debat tak ada ujung (dan debat ini bisa jadi “hal-hal kecil” yang tak membawa kita menjadi penulis yang lebih terampil). Tapi saya rasa kita bisa mengukurnya sendiri: fokus terhadap tujuan keterampilan yang ingin dicapai, dan lewatkan apa yang tak mendukung itu. Bayangkan jika kita ingin berlatih menulis kalimat dengan baik, kita melakukannya berkali-kali, berjam-jam, dan lupakan urusan lain yang tak ada hubungannya. Setelah mampu melakukannya, kita lakukan kembali latihan menulis dialog, yang katakanlah, kita ingin di satu sisi tertulis dengan baku tapi terdengar alamiah. Banyak hal yang bisa kita latih dalam hal menulis, dan itu membutuhkan waktu yang sengaja disediakan. Dalam hal ini, memiliki tujuan yang jelas tentang apa yang sedang kita latih, menjadi sangat penting. Memikirkan hal ini, satu hal kemudian mengemuka: apa artinya “berhasil”? Dalam bidang penulisan, seperti apa itu penulis yang berhasil? Berpengaruh besar seperti Dostoyevski atau Kafka? Memperoleh hadiah Nobel seperti Hemingway atau Orhan Pamuk? Memperoleh uang banyak seperti J.K. Rowling? Tentu saja tak semua orang terobsesi untuk “berhasil” seperti gambaran Gladwell, dan karenanya tak perlu menyiksa diri berlatih 10.000 jam (dan terus berlatih setelah itu). Ada penulis yang cukup senang melihat karyanya dicetak, sebagai misal. Atau menyisipkan ungkapan cinta tersembunyi di dalam novel, banyak yang seperti ini. Kita punya ukuran masing-masing tentang “berhasil”. Yang ajaib tentu saja kalau orang berharap memperoleh sebutir kelereng, tapi ngamuk-ngamuk karena orang lain memperoleh segenggam berlian. Atau berharap mengarungi lautan luas, tapi usaha yang dilakukannya hanya merendam kaki ke dalam air di ember. Saya? Saya pengin melihat karya saya bersanding di rak buku dengan penulis-penulis kesayangan saya. Cita-cita saya tampak dangkal dan tolol, tapi sulit melakukannya. Setiap kali saya menyandingkan buku saya di samping buku-buku itu, saya merasa buku saya tak pantas berada di sana. Mungkin saya harus mencoba meletakkan buku saya di sisi buku-buku itu, terus-menerus selama 10.000 jam? Mungkin. Mungkin. Sebab saya yakin, 10.000 jam melakukan ketololan juga bisa berhasil membuat saya lebih tolol berkali lipat, dan sejujurnya, saya sering melakukan hal itu.


diambil dari http://ekakurniawan.com/journal/10-000-jam-latihan-8885.php

Kisah Gadis Kretek dan Lelaki Harimau



Wawancara dengan GEO Times | Sabtu, 14/02/2015
“Maaf, agak telat. Saya kira perjalanannya tidak akan semacet ini,” kata Ratih Kumala memulai perbincangan.
Ratih Kumala dan Eka Kurniawan adalah dua penulis yang belakangan ini namanya makin terkenal di dunia sastra Indonesia. Selain sebagai penulis, keduanya adalah pasangan suami istri.
Keduanya telah melahirkan beberapa novel, selain sempat juga menerbitkan kumpulan cerita pendek. Kedua penulis muda ini bertutur  pada The Geo Times tentang kecintaan mereka pada sastra.
Sebagai pemantik pembicaraan, mereka mengawali cerita tentang ide untuk tulisannya. “Ide tulisan? Kami rasa kami tidak pernah bertabrakan dan gak pernah sama juga,” kata Ratih. Eka menimpali bahwa selama ini mereka jarang memiliki ide yang sama. “Selain itu kami hanya saling cerita tentang tema tapi tidak pernah saling membantu dalam proses membuat tulisan,” tutur Eka.
Eka, kelahiran Tasikmalaya 40 tahun lalu ini menceritakan bahwa untuk ide sampai saat ini jarang ada bentrokan karena ketika di rumah mereka mengurangi pembicaraan mengenai sastra. “Di rumah, kami jarang ngomongin sastra,” kata Eka. Ratih menambahkan bahwa jika berbicara sastra yang ada justru berantem.
“Kalau ngomongin sastra di rumah yang ada malah ribut. Lebih baik ngurus anak aja kalau di rumah,” tambah Ratih yang Juni tahun ini genap berusia 35 tahun.
Baik Ratih maupun Eka menyepakati bahwa tema tulisan mereka selama ini memiliki perbedaan. Ini yang menyebabkan keduanya tidak pernah bertabrakan mengenai ide.
Sebagai seorang penulis, keduanya memiliki tingkat produktifitas yang cukup tinggi. Ratih sampai saat ini telah menerbitkan empat novel dan satu kumpulan cerita pendek.
Sedangkan Eka, selain menerbitkan tiga novel dan tiga kumpulan cerita pendek dia juga pernah menerbitkan satu buku non fiksi.
Ditanya mengenai karya terbaiknya, Ratih merasa bahwa karya yang paling baru yang dia anggap paling baik. “Buku yang paling baru itu artinya kualitasnya lebih bagus karena kita pernah belajar dari kekurangan buku yang lama,” terangnya.
Senada dengan Ratih, Eka pun menjawab pertanyaan tersebut dengan jawaban yang sama. Eka hanya menambahkan buku yang baru itu hadir sebagai perbaikan secara kualitas dari buku sebelumnya.
Beberapa karya Ratih antara lain Tabula Rasa yang terbit 2004, Genesis terbit 2004, Kronik Betawi terbit 2009, dan Gadis Kretek terbit 2012 serta kumpulan cerpen Larutan Senja terbit 2006. Diantara semua novelnya, Ratih selalu memunculkan sosok karakter perempuan kokoh.
“Sebenarnya tidak ada kesamaan di antara semua novel saya, hanya saja ada satu benang merah yakni perempuan tegar yang kuat,” ungkap Ratih. Mungkin terkesan Ratih penganut feminisme, tapi bagi Ratih itu hanya kebetulan.
Sama halnya dengan Ratih, novel karangan Eka tidak memiliki kesamaan secara cerita atau alur. Namun menurutnya jika pembaca lebih memahami karyanya akan ada satu benang merah. “Benang merah dari novel saya adalah semangat membalas dan trilogi dendam,” terang Eka.
Eka mengawali karya novelnya pada 2000 dengan terbitnya novel Cantik Itu Luka. Hingga akhirnya, dua tahun kemudian terbit novel Lelaki Harimau.
Butuh 10 tahun bagi Eka untuk menyelesaikan novel ketiganya Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas yang baru terbit 2014.
Lamanya rentang terbit dari novel kedua ke novel ketiga, bagi Eka disebabkan karena selama ini target yang dia pasang selalu kalah dengan skala prioritas yang dibuatnya sendiri. “Meski ada target untuk menyelesaikan karya dengan waktu yang cepat, saya kira tidak maksimal jika kualitasnya jelek,” ucap Eka.
Ratih, sang istri juga menilai bahwa Eka bukanlah sosok yang terburu-buru dengan karyanya. “Eka ini lebih sabar dengan karyanya. Saat menulis, Eka riset, baca, mengendapkan ide, baru menulis kembali,” terang Ratih. “Ini berbeda dengan saya yang selesai menulis langsung diterbitkan.”
Eka menambahkan bahwa selama menjadi penulis, baginya kualitas harus diutamakan daripada produktifitas. Alasannya pun sangat sederhana. “Di Indonesia, membuat novel tidak akan membuat penulis kaya raya,” kata Eka. Menurut Eka ini karena apresiasi terhadap karya sastra masih sangat kurang. Dia menyesalkan bahwa pemerintah belum memiliki perhatian terhadap karya sastra.
Seringnya novel yang diadaptasi untuk dijadikan film tidak serta-merta membuat kedua penulis ini berniat mengangkat karya-karyanya ke layar lebar. Kesibukan Ratih sebagai seorang editor naskah di salah satu stasiun televisi membuat dirinya mengetahui benar bagaimana proses pembuatan skenario.
“Tidak perlu setiap novel yang terkenal harus diangkat ke layar lebar,” kata Ratih. Dia menyesali bahwa seringkali ketika novel akan diangkat ke layar lebar akan ada banyak bagian dari novel yang dihilangkan. “Ini seperti buku tersebut dibedah, dicabik-cabik, dan hanya dipilih yang diperkirakan menarik bagi penonton. Ini tentu menyakitkan bagi penulis seperti saya,” katanya. Padahal proses kreatifitas selama penulisan novel itu tidak sebentar.
Begitu pula bagi Eka. Dia menganggap bahwa kesuksesan sebuah novel tidak bisa dipandang dari apakah sudah diangkat ke layar lebar atau belum. Baginya, daripada harus mengorbankan novel untuk diangkat ke layar lebar tapi tidak sesuai aslinya lebih baik tidak usah. “Atau kalau mau lebih baik saya membuat naskah untuk film dan jangan langsung dari novel,” ungkap Eka.
Eka menganggap bahwa kesuksesan novel bukan hanya dilihat dari apakah karya tersebut diangkat ke layar lebar atau telah mendapatkan penghargaan. “Kafka ataupun Borges tidak pernah mendapatkan hadiah nobel. Dan itu tidak menjelekkan karya mereka,” kata Eka mengandaikan permasalahan ini. Selama karya itu menyenangkan ketika dibaca, baginya itu adalah sebuah penghargaan yang luar biasa.
Untuk tahun ini, keduanya sedang menantikan karya terbaru mereka. Ratih Kumala, sesuai nama salah satunya novelnya si Gadis Kretek, akan menerbitkan kumpulan cerita pendek dengan judul Bastian dan Jamur Ajaib.
Begitu pula Eka Kurniawan, si Lelaki Harimau, akan menerbitkan kumpulan cerita pendek dengan judul Perempuan Patah Hati Yang Kembali Menemukan Cinta Melalui Mimpi.
Meski memiliki banyak kesibukan di luar dunia menulis, baik Eka ataupun Ratih berharap agar mereka masih mampu berkarya.
Di tengah kesibukannya sebagai pengurus Dewan Kesenian Jakarta, Eka mengharap agar mampu lebih banyak memikirkan ide untuk tulisannya. Meski selama ini dia juga mengakui banyak ide yang muncul namun banyak juga yang gugur. “Namun sampai saat ini saya berharap akan lebih banyak novel yang saya tulis,” kata Eka. [*]

Proses Kreatif: Penulis sebagai si Juru Masak


(image from: pinterest.com)


Oleh: Eka Kurniawan

Tugas pertama seorang penulis, menurut saya, kurang lebih mirip dengan juru masak, yakni: tidak membuat tulisan yang tidak enak dibaca. Menulis apa pun, baik sekadar surat pembaca maupun traktat filsafat, sebaiknya memang enak dibaca. Percuma bukan, menulis ratusan halaman jika orang hanya betah membaca satu-dua paragraf? Percuma bukan, memasak berloyang-loyang jika orang hanya tahan makan satu suap?

Dalam proses kreatif saya sebagai penulis, saya belajar banyak dari para juru masak (dan bukan kebetulan jika saya pernah menulis sebuah cerita pendek mengenai juru masak terkenal abad kesembilan belas, berjudul “Kutukan Dapur”, dalam Cinta tak Ada Mati). Seperti para juru masak, saya selalu berusaha memperoleh bahan-bahan terbaik (segar dan bergizi) untuk setiap tulisan.

Kecuali singkong yang dibakar di ladang, kita tahu sebagian besar makanan yang kita makan merupakan olahan dari berbagai bahan. Ada buah kol, kentang, wortel, dan ceker ayam dalam sup yang dibikin ibu saya setiap kali saya pulang (sebab itu makanan favorit saya). Demikian pula dalam sebuah tulisan, kita bisa menemukan pengalaman hidup penulis, peradaban suatu zaman, atau mungkin analisa mengenai arsitektur sebuah kota.

Dalam novel pertama saya, Cantik itu Luka, saya mencambur beberapa bahan yang menjadi favorit saya: filsafat, mitologi, sejarah, dan folklore. Dalam novel kedua saya, Lelaki Harimau, dalam adonan saya terdapat sebuah peristiwa nyata dan sebuah dongeng turun-temurun. Aha, ya, tampaknya ada bahan-bahan yang kontradiktif: filsafat dan mitologi? Folklore dan sejarah? Peristiwa nyata dan dongeng?

Orang-orang di kampung saya tak terbiasa memakan roti dan daging. Tapi saya sudah lama terbiasa makan burger (makanan praktis buat orang yang tak suka makan berlama-lama seperti saya). Dan jangan lupa, di beberapa tempat, orang makan nasi dengan pisang, atau makan pisang dengan ikan (kalau ini sungguh saya tidak bisa). Saya pikir juru masak yang baik selalu memiliki cara untuk mencampur bahan apa pun, sebagaimana penulis yang baik mestinya tak bermasalah membaurkan fakta dan fiksi.

Mengenali bahan dengan baik, tentu merupakan syarat untuk bisa mengolah bahan-bahan ini menjadi baik pula. Seorang juru masak yang baik mestinya tahu apa yang terkandung di dalam makaroni, kalau perlu hingga nilai gizi per takarannya.

Dalam Cantik itu Luka, gagasan utama penulisan novel itu berawal dari pertanyaan mengenai sejarah. Pertama-tama tentu saya harus membongkar dulu asumsi-asumsi filosofisnya (kebetulan saya belajar di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, sehingga tak terlalu kesulitan untuk memetakan berbagai pandangan mengenai filsafat sejarah).

Kedua, tentu saya juga mesti masuk ke materi-materi sejarah di mana novel itu akan diletakkan (saya berpikir, cara terbaik membahas filsafat sejarah dalam sebuah novel tentu harus mengisahkan sebuah momen sejarah tertentu). Karena saya bukan ahli sejarah, saya mempergunakan materi-materi skunder yang ditulis oleh para sejarawan, terutama meliputi masa awal Perang Dunia II hingga masa pemerintahan Soeharto. Dari penelitian ini, misalnya, saya tahu Perusahaan Unilever telah memproduksi Blueband sejak masa kolonial (dan barangkali tak banyak yang tahu, perusahaan itu masih milik Belanda).

Karena pokok novel ini adalah filsafat sejarah (dengan kata lain, novel tentang sejarah dan bukan novel sejarah), saya harus membuka diri pada pandangan lain mengenai sejarah. Jika kita membuka ulang tradisi babad kita (misalnya Pararaton, Negarakrtagama, atau Babad Tanah Jawi), kita melihat pandangan sejarah yang khas Jawa: sejarah hidup berkelindan bersama kepercayaan, folklore, dan mitologi. Itulah mengapa folklore dan mitologi hadir pula dalam novel ini.

Dan jangan lupa, di dalam satu adonan, tak hanya bahan-bahan pokok yang hadir, namun juga ada bumbu-bumbu. Bumbu-bumbu ini seringkali justru yang membuat bahan-bahan pokok terasa lebih enak. Saya pikir, demikian pula di dalam sebuah novel, atau tulisan apa pun, kita membutuhkan bumbu untuk membuat tulisan menjadi lebih manis atau asin, atau pedas (dalam tulisan berarti lebih tragis, dramatis, memilukan, atau apalah).

Dalam tulisan, kita hadirkan hal-hal yang barangkali tak pokok, tapi berjasa membuat hal yang pokok menjadi menarik: di sana hadir lelucon, interupsi, lanturan, deskrisi. Selama tidak berlebihan, apalagi mengalahkan yang pokok, bumbu akan sangat berguna bagi hidangan akhir.
Saya tak mungkin melupakan bahasa dalam pembahasan ini, sebagai satu hal yang membuat tulisan menjadi mungkin. Saya tak ingin mempersamakan bahasa dengan perkakas. Tidak, perkakas adalah perkakas: laptop, kertas, pensil, barangkali fungsinya akan sama dengan wajan dan pisau. Bahasa, dalam dunia si juru masak, barangkali lebih tepat dikatakan sebagai api. Ya, api untuk menggoreng, memanggang, atau membakar, itulah bahasa.

Sebagaimana juru masak harus mengenali api, demikian pula penulis mengenali bahasanya. Api yang terlalu panas akan membuat gosong (mentah di dalam). Bahasa yang terlalu berkobar-kobar, hanya menyengat di mata, ketika dibaca, barangkali tak ada isinya. Demikian pula bahasa yang tak terlampau bertenaga, hanya membuat tulisan mentah, tak peduli betapa penting bahan di dalamnya.

Dalam berbahasa, saya tak hanya peduli pada gramatika, tapi juga perdebatan mengenai gramatika (saya sarankan untuk membaca Of Gramatology Derrida). Seorang penulis juga semestinya (barangkali sepele bagi kebanyakan penulis, tapi di sinilah perbedaan penulis yang serius dan tidak), membekali diri dengan kamus. Paling tidak Kamus Besar Bahasa Indonesia, bukan?

Untuk hal ini, saya punya kebiasaan untuk menghapal nama-nama, terutama nama-nama benda-benda. Bagi penulis yang berbahasa ibu bukan bahasa Indonesia (sebagian besar penulis Indonesia dibesarkan dalam bahasa daerah), sering menjadi problem untuk memberi nama-nama benda dalam bahasa Indonesia. Kamus dan kebiasaan mencatat menjadi hal penting.

Dari sini, kembali belajar dari juru masak yang baik, saya percaya menjadi penulis yang baik bukanlah (sebagaimana banyak dianjurkan buku pelajaran menulis) “menulis apa yang kita paling tahu”, tapi justru sebaliknya, “menulis apa yang paling tidak tahu”. Saya percaya ini, karena pengetahuan saya barangkali tak jauh berbeda dengan yang pengetahuan orang lain, dan apa maknanya berbagi pengetahuan yang sama-sama kita tahu? Menulis apa yang tidak diketahui, pada akhirnya membawa kita pada tradisi yang baik: penelitian.

Oh ya, juru masak yang baik tak hanya bisa membuat masakan yang bergizi, tapi mestinya piawai juga membuat adonan beracun, bukan? Hati-hati jika membaca, sebaiknya cuci tangan dulu.

Artikel ini saya tulis untuk majalah Matabaca edisi November 2006.

*diambil dari http://ekakurniawan.net/blog/penulis-sebagai-si-juru-masak-109.php