Tampilkan postingan dengan label karya followers. Tampilkan semua postingan

Pacar Si Karman


Oleh: Boris Gabe Tobing


Karman... Dadaku sesak, asap rokok yang kau sesap
Sangking cintanya aku padamu Karman, apa yang kau rasa, aku pula

Dialek kita tadi senja, kau bertanya
Siapa yang berdansa denganku ahad pagi?
Itu bayangmu Karman, dari mimpi semalam yang ikut bangun
Mungkin dia belum puas, minta lagi yang lebih buas

Dengan puisi ini, aku tunggangkan pesanku diatas embun
Selamat pagi, Karman
Tetaplah jadi Karman yang miskin
Agar kita masih bisa terus bercinta dengan sederhana dan apa adanya

Surakarta, 21 Oktober 2016
Tertanda: Suratim, pacarmu

Wajahmu Dini Hari


Oleh : Afni Rufaidah

Sebenarnya malam ini aku tak ingin menulis, tapi siluet wajahmu masih bersinar bak benda magis.
Sekarang ini, tepat dini hari di waktumu.
Aku tak berani menyebutkan pukul berapa, namun wajahmu sudah larut dalam ribuan detik-detik itu. Kantukmu berdenting dalam mimpi. Matamu menyimpan lelah sebanyak dua dibagi nol, hasilnya tak terdefinisi. Sesekali nafasmu tak terkendali, bermimpi apa kau? Jangan-jangan dikejar hati.


Ditemani kopi, pukul 23:59

Bercerita Menjadi Cinta



Oleh : Hijriyati Nur Afni



Mari mengulang obrolan ringan dibawah langit malam yang tenang
Di rumah sederhana tanpa jendela
Kita terduduk berdua menceritakan rasa, perasaan, dan kenangan
Kau bercerita tentang perempuan pemilik abadi hatimu
Dan aku menceritakan lelakiku yang hatinya belum kembali dari masalalu
Kian larut, kita tenggelam
Dingin menusuk, kita terdiam
Kehabisan kata untuk melukiskan yang ada
Masih ingatkah perapian kecil ditepian pintunya ?
Api kecil yang kau buat penuh tenaga
Untuk menjadi penerang dan penghangat pilu yang sedang bertamu di puncak itu
'Let Her Go' Passenger yang sedang kau putar
Semakin meyakinkan bahwa kita memang sedang terluka oleh rasa yang tak semestinya ada
Kita terdiam mengamati langit malam
Saling mengobati luka-luka yang menganga
Aku ingin mengulang itu semua
Dan berganti cerita
Karena sejatinya denganmu, lukaku bertemu penawarnya
Semoga kaupun juga

"Sebat"

Oleh : Boris Gabe Tobing

Aku nongkrong, tapi cuma satu bokong. Hanya satu kursi kosong yang terisi. Serta telapak tangan basi yang sudah lama tidak kau hangatkan. Keringatmu yang tiba-tiba muncul disela kita bergandengan tangan. Ah begitu sukar dilupakan, karena memang enggan.

Aku masih nongkrong, diatas kursi yang aku pandang dan duduki pertama kali diantara puluhan kursi kosong. Sama seperti kau yang kupandang dan kucinta pertama kali ditengah keramaian pasar malam sabtu kemarin. Yang aku lihat, mulutmu asal ketus mengeluarkan jajaran kata main-main di depan teman-temanmu yang tertawa dan tidak yakin dengan celotehmu yang memang difungsikan untuk main-main

Kopi pesananku datang, ditemani air mineral. Untuk mengimbangi kopi hitam yang akan aku ganyang. Beda halnya dengan aku.  Yang datang sebat, sebab tidak kau temani. Walau hanya sekedar duduk berdampingan. Agar kursi-kursi ini tidak mubadzir keberadaannya. Syukur, kalau kau bersedia, mengimbangi ketusku yang main-main dengan tawamu yang tidak pernah main-main

Sampai sekarang, tengah malam. Aku masih nongkrong sebat, sebatang. Sambil melamun, membayangkan ada kau meminum kopi yang sengaja aku pesan dua. Letak gelasnya berdampingan dengan gelas kopiku, yang memang sengaja aku dampingkan. Agar saat kau datang, kau tahu harus duduk dimana, dan bingung harus meminum dari gelas yang mana

(Colomadu, sedang rindu,  18 oktober 2016)

Aku dan Rasa




Oleh : Davina Setya Sukana


Senandung lembutmu tuturkan rasa .
Rasa yang sebelumnya tak pernah ada
Muncul dengan sendirinya di hidupku                                               mendua hati tak mau bicara                            sebenarnya                                                       ada apa denganku ini ?                                hati kecilku belum mengerti                               apa itu jatuh hati ??                                 sukarku membuang mata                        untukmu                                                         diam seribu bahasa

Ditemani Sang Mukmin Sejati

Oleh : Rizqi Aji Miharto

Termandikan embun dini hari kesunyian
Sang serigala menyeringai mengajari mencemari garis waktu Tahajjud
Kuandalkan pusaka enam-nyawa kebanggaan menyatu dalam kegelapan kejiwaanku
Terasa hadirnya sang Mukmin Sejati ikut berdialektik dengan geraman maut
Pembangkang peraturan sujud pada makhluk tak seharusnya
Dikenalkan pada kesengsaraan yg menyenangkan
Tepat di pagi hari setelah "ritual" tahunan
Sebagaimana manusia terpilih "menumbalkan" buah hati kepada Pencipta
Pembantaian massal,
Darah mengucur dari leher terpisah sebab belati terlebur doa-doa basi
Sejatinya jelmaan buah hati seorang khalifah
Manusia
Penikmat kesengsaraan yg menyenangkan
Puisi yg ditulis ditemani Sang Mukmin sejati; Iblis.

Tuban, 10 September 2016

Di Bawah Lutut Jessica


Oleh: Rizqi Firdaus


Ada orang pintar tapi terlihat bodoh
Membela yang salah yang seolah olah benar
Di putar balik lah sebuah fakta
Demi kepentingan semata

Kalian melontarkan nada, tapi tidak seirama
Mengagitasi yang di muliakan diatas meja hijau
Sampai membuatku terkagum

Kalian tidak seperti kopi dan gula, bercampur untuk meresap.
Kalian mencoba memisahkan keduanya
Kopi itu istimewa, sebelum kau campur dengan sianida.

September 2016

Karya Kawan Followers 2

Oleh: Ardia Kavindra


Kamu,
Getar pertama yg meruntuhkan gerbang tak berujungku mengenal hidup
Kamu,
Tetes embun pertama yg menyesatkan dahagaku dalam cinta tak bermuara
Kamu,
Matahari firdausku yg menyinari kata pertama di cakrawala asmara
Hadir dgn ketiadaan, sederhana dalam ketidakmengertian.
Gerakmu tak pasti, namun aku terus disini.
Untuk mencintaimu.

Jogjakarta, 10 September 2016

Suatu Malam, Saat Aku Ingin Sekali Mati

Oleh : Ozi


Terbaring aku,
Menerka semua
Nada nada asing
Dalam ruang yang tanpa identitas.
Berlari aku
Tersesat dan mencoba mengingat
Jalan jalan asing
Dalam ruang yang tanpa identitas.
Sedih aku
Mencari makhluk yang subtil- mereka banyak tau perihal perasaan,
Diantara
Kuburuan kuburan asing
Dalam ruang yang tanpa identitas.
Berbicara aku
Panjang lebar
Prihal masa lalu
Prihal rumah yang jauh
Prihal pertanyaan- yang kau takkan pernah dengar aku mempertanyakan ini pada manusia,
Prihal rahasia malam yang tak pernah ku mengerti
Dan tentu prihal makna. Pada
Makhluk makhluk asing
Dalam ruang yang tanpa identitas.
#
Tidak seharusnya aku.
Tidak. aku seharusnya
Menempelkan puisi ini di ruang yang tanpa identitas itu,
Memberinya identitas
Agar ruang yang tanpa identitas itu tak dimasuki apa apa.
Agar tak ada orang lagi yang memasuki ruang yang tanpa identitas itu.
Apalagi bila orang itu ingin membuat puisi di ruang yang tanpa identitas itu.
Aku mestinya mencegahnya.
Karena puisi ini ditulis didalam ruang yang tanpa identitas itu.
Dan puisi ini sungguh tak bertanggung jawab.

16 september 2016

Karya Kawan Followers



Oleh: Rananda


Semoga dan ku tahu sunyi deras isakmu tak sekejam hujan ini. Lebih tajam
dan sungguh.
Langit gemuk yang menyuapi pohon kerontang kapan saja ia mau bisa saja
menggeleparkan dan meludahinya kapan saja ia mau.
Kau boleh percaya kehidupan itu berputar dan kau boleh percaya kehidupan
itu tidak bundar.
Lukamu sedang basah, bukan?
Atau kau lebih suka lukamu itu kering?
Teteskan luka itu dengan liur malaikat, maka menciut dan ke mana ia?
Telan dan muntahkan dan telan.
Yang kau cari dan kau nikmati
tapi dendamku, diperbarui
debu dan diam
Pekanbaru, 2015