Situasi Chairil
(image from: google.com)
Oleh: Nirwan Dewanto
Puisi[1] yang unggul
bukan hanya puisi yang minta dibaca ulang terus-menerus, namun juga yang
mengubah cara kita membaca dan menulis. Demikianlah, Chairil Anwar bukan hanya
nama seorang penyair, tapi juga nama untuk sebuah situasi, tepatnya kompleks
kekaryaan yang memungkinkan kita menghidupkan bahasa dan sastra kita.
Menempatkan ia sebagai hanya pembaharu-pendobrak memang layak dilakukan oleh
sesiapa yang menggemari klise dan nostalgia. Sekadar pembaharu bagi saya adalah
ia yang hanya hidup untuk zamannya sendiri: ia hanya melahirkan fashionbagi
generasinya, yang cepat menjadi kedaluarsa; si pembaharu segera menjadi bagian
masa lampau jika kita memandangnya dari arah zaman kita. Tidak demikian hanya
dengan Chairil. Sajak-sajaknya menyediakan dasar bagi penulisan puisi sampai
hari ini. Atau, dalam sajak-sajak Indonesia yang terbaik, kita selalu dapat
menemukan jejak-jejaknya. Demikianlah, situasi Chairil Anwar adalah lingkupnya menegakkan
sastra dan budaya tulisan.
Terlalu
lama khalayak pembaca tenggelam dalam sejenis mitos bahwa Chairil Anwar adalah
si binatang jalang yang terbuang dari kumpulannya, bahwa dengan kejalangan ia
membangun sastra yang baru. Mitos demikian hanya akan menempatkan Chairil ke
dalam kelisanan yang membuat kita malas menyelami karyanya. Terbalik dengan
itu, selama 1942-1949 ia sungguh-sungguh mengerjakan budaya tulisan: melakukan
studi terhadap para pendahulunya, membaca sastra dunia dan mengambilnya ke dalam
dirinya, merumuskan konsep penciptaannya dengan terang,[2] dan
akhirnya menulis (ya, bukan mengarang) sajak-sajak yang membayangi sastra kita
hingga hari ini. Puisi Chairil membangkitkan kekayaan bahasa kita sampai ke
tingkat yang mustahil dikatakan dengan cara lain, tetapi yang tetap sedap dan
masuk-akal, sehingga para penyair yang kemudian seperti gementar di hadapannya
dan akhirnya mau tak mau mengambilnya sebagai model atau sebagai lawan-tanding.
Demikianlah Chairil Anwar menjadi semacam penyair-induk dalam bahasa kita. Saya
tidak mengatakan bahwa puisinya sempurna. Dengan ketaksempurnaannya dalam
beberapa segi, sajak-sajak Chairil tetap membayangkan potensi kebangkitan lebih
lanjut: yakni bahwa untuk mencapai kepadatan dan kebulatan, puisi boleh
“melanggar” tata bahasa. Cacat yang dihasilkannya adalah apa-apa yang mesti
dipertimbangkan oleh para penyair yang datang kemudian.
Sudah
barang tentu pelanggaran demikian hanya bisa dilakukan oleh ia yang gandrung
benar akan bahasa; ia yang pandai memiuhkan hukum bahasa untuk menampilkan dunia secara lain; ia yang berpikir
tentang bahasa. Seorang penyair modern pada dasarnya adalah perajin dan pemikir
sekaligus: sebagai perajin ia selalu bermain dan bertarung dengan berbagai
“teknik” yang disediakan para pendahulu yang sudah ia pilih berdasarkan
aspirasinya; dan sebagai pemikir ia mencerna berbagai khazanah pustaka, yang
memungkinkan ia melengkapkan dan mengoreksi sastra sebelumnya. Ia tidak
meradang dan menerjang: ia percaya bahwa “pikiran berpengaruh besar pada hasil
seni yang tingkatnya tinggi”; berkreasi baginya adalah “menimbang, memilih,
mengupas”, bukan berimprovisasi, bukan “dipengaruhi hukum wahyu”, bukan “kerja
setengah-setengah”.[3]Terhadang sejenis
mitos bahwa Chairil Anwar adalah seorang pembaharu, khalayak pembaca kerap
meletakkan ia sebagai pelawan tradisi. Bagi saya, tidak. Sebab jelaslah Chairil
memperluas tradisi. Ia dengan cermat mencerna puisi lama, memilih model yang
tepat untuk dirinya. Bahkan bagi sebagian penyair dan pengupas, sajak-sajaknya
yang terbaik adalah yang berbentuk kuatrin, lebih sering kuatrin berima. Kita
baca sajaknya berikut ini:
Senja di Pelabuhan Kecil
buat Sri Ajati
Ini kali tidak ada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu, tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut.
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu, tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut.
Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.
menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.
Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap.
menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap.
Sajak
di atas sepintas-lalu tampak seperti kuatrin konvensional dengan tiga bait
berima a-a-b-b—c-c-d-d—e-f-e-f. Namun ternyata tidak. Dalam syair, misalnya, setiap
larik adalah sebuah kalimat sempurna dengan empat-lima kata, sebuah unit ujaran
atau perian yang lengkap. Dalam sajak Chairil tersebut, setiap larik adalah
kalimat atau frase yang tak lengkap, menggantung, yang hanya secara “tanggung”
berusaha menyambung dengan kalimat atau frase sesudahnya. Terdapat celah
bisu-sunyi antar-frase, antar-kalimat, atau antar-larik. Tidak jelas, misalnya,
apakah frase “tidak bergerak” pada ujung baris ketiga bait kedua dan “tiada
lagi” pada awal bait ketiga mesti tersambung kepada frase sebelum ataukah
sesudahnya. Chairil seakan membiarkan baris-barisnya mengerut dan memuai sendiri.
“Cacat” semacam ini justru memunculkan tenaga kata dan kombinasi antar-kata.
Perhatian kita akan terpusat pada bagaimana ia menghidupkan benda mati
(misalnya “tanah dan air tidur”) atau mengkongkretkan yang abstrak (“desir hari
lari berenang”). Tetapi perhatian kita mungkin juga bukan terpusat, melainkan
bertebaran pada banyak gabungan kata yang mendebarkan, yang tak kunjung
terpahami. Apa itu “pantai keempat” (kenapa tak ada pantai-pantai sebelumnya),
dan apa pula “bujuk pangkal akanan” (apakah ini lambaian cakrawala, yang selalu
menjauh bila dihampiri)?
Bagi
saya, “Senja di Pelabuhan Kecil” tak pernah ditulis oleh sesiapa yang tak punya
visi dan hormat terhadap bentuk syair atau pantun—juga kuatrin pada umumnya,
bentuk yang sudah mantap di berbagai sastra dunia—termasuk bagaimana bentuk
demikian diolah kembali oleh generasi sebelumnya. Lebih khusus lagi, Chairil
meradikalkan bentuk syair yang sudah dibikin modern oleh Amir Hamzah, penyair
Pujangga Baru yang karyanya pernah dikatakan Chairil sebagai “destruktif
untuk bahasa lama, tapi sinar cemerlang untuk gerakan bahasa baru.”[4] Ia tahu
bahwa kekuatan kata yang dicita-citakan Amir tidak akan muncul cemerlang jika
si penyair bertahan pada kesempurnaan kalimat dan larik sajak. Bila kita
tamsilkan dengan seni lukis: Amir masih menggambar pemandangan molek rupa di
mana ruang masih tunggal-menerus, Chairil melukis ruang yang terpecah-pecah
(seperti dalam pasca-impresionisme). Jika pada lukisan Amir kita terpaku akan
keseluruhan tamasya, pada lukisan Chairil kita memperhatikan garis, warna,
bidang. “Senja di Pelabuhan Kecil” adalah turunan terpiuh “Berdiri Aku” Amir
Hamzah.[5] Demikianlah,
saya hendak mengatakan bahwa untuk mengedepankan tenaga kata, Chairil justru
menjadi penerus tradisi, bukan perusaknya.
Kesetiaan
Chairil Anwar terhadap bentuk-bentuk puisi lama sesungguhnya lebih besar
daripada yang kita duga. “Senja di Pelabuhan Kecil” juga memperluas konsep
sampiran dan isi dalam pantun: bait pertama dan kedua adalah sampiran, dan bait
ketiga adalah isi. Kedua bait sampiran tersebut adalah lanskap murni, yang
seakan-akan dikatakan oleh orang ketiga. Tetapi sekonyong-konyong orang
pertama, si aku, muncul pada bait ketiga, bukan untuk berseru, tapi bergumam
lembut, menggarisbawahi apa yang dinyatakan kalimat pertama dalam sajak itu.
Pola sampiran-isi ini muncul kembali dalam kuatrinnya yang lain “Derai-derai
Cemara”[6]: bait pertama
merupakan sampiran murni, bait ketiga isi, dan bait kedua setengah-sampiran,
atau kait yang memperantarai kedua bait. Sementara itu, sajak ini juga tampak
lebih setia kepada bentuk syair: setiap baris adalah kalimat lengkap, dan
setiap kalimat berusaha bertahan dengan jumlah maksimum enam kata. Variasi lain
dari perluasan kuatrin-syair adalah sajak “Yang Terampas dan Yang Putus”:
tetapi di situ Chairil memisahkan baris keempat dari setiap bait menjadi
bait-sebaris tersendiri.
Saya
telah menekankan Chairil Anwar sebagai penerus tradisi persajakan sebelumnya.
Minat sidang pembaca yang terlalu besar kepada sajak “Aku” atau “Semangat”
misalnya, membuktikan bahwa mereka mungkin terlalu kerap menekankan peran
penyair yang lahir di Medan pada tahun 1922 itu pada kemahirannya—mungkin juga
pada kepeloporannya—menggarap sajak bebas. Di titik ini saya hendak menekankan
bahwa sajak bebas pun sebuah konvensi, khususnya konvensi dalam khazanah puisi
modern sedunia, dan dengan ini Chairil menyatukan dengan sastra dunia
sezamannya.[7] Dengan kata
lain, sajak bebas pun adalah hasil disiplin yang tersendiri. Pun dalam khazanah
kita, Chairil bukan orang pertama yang mengerjakan sajak bebas; sejumlah
penyair Pujangga Baru seperti Roestam Effendi, J.E. Tatengkeng dan Amir Hamzah
pun sudah melakukannya. Demikianlah, dalam hal ini Chairil juga seorang
pelanjut, bukan pelopor. Ia tentu menyadari kelemahan sajak bebas yang
dikerjakan angkatan sebelumnya: “bebas” hanya sekadar tak terikat kepada
bentuk-bentuk persajakan lama. Sajak bebas Chairil Anwar lagi-lagi adalah
sarananya untuk menonjolkan tenaga kata. Dalam sajak bebas, berlangsung
pemadatan radikal: bait bisa menjadi larik, bahkan larik pun masih bisa
menyusut lagi menjadi kata. Dan fragmen-fragmen padatan demikian seakan
terlepas sendiri, mengambang, bahkan saling bertabrakan, justru untuk
menegaskan keseluruhan bangunan sajak. Kita baca:
Kawanku dan Aku[8]
kepada L.K. Bohang
Kami jalan sama. Sudah larut
Menembus kabut.
Hujan mengucur badan.
Berkakuan kapal-kapal di pelabuhan.
Hujan mengucur badan.
Berkakuan kapal-kapal di pelabuhan.
Darahku mengental-pekat. Aku tumpat-pedat.
Siapa berkata?
Kawanku hanya rangka saja
Karena dera mengelucak tenaga.
Karena dera mengelucak tenaga.
Dia bertanya jam berapa!
Sudah larut sekali
Hingga hilang segala makna
Dan gerak tak punya arti
Hingga hilang segala makna
Dan gerak tak punya arti
Sebagaimana
terbukti oleh karya di atas, sajak bebas bukanlah sajak tanpa kendali. Bait
kedua (yang hanya terdiri dari satu baris saja), sepintas dapat kita gabungkan
dengan bait pertama untuk mendapatkan bentuk kuatrin, dengan rima a-a-b-b,
namun ia memang harus berdiri sendiri untuk menegaskan unit lanskap yang
tersendiri. Hal serupa bisa berlaku untuk bait keenam dan ketujuh. Chairil
bukan hanya mengikat larik-lariknya dengan rima luar, yakni bunyi di ujung
baris, namun juga rima dalam, yakni pengulangan bunyi vokal dan konsonan di
dalam kalimat. Sajak bebas hanya bersifat bebas dalam arti bahwa ia menekankan
baris-barisnya untuk berpisah dan menyatu ganti-berganti, mengambang, demi
menekankan tenaga kata. Kata “berkakuan” pada bait kedua, misalnya, segera
mendapat perhatian kita, karena ia berlaku untuk “kapal-kapal di pelabuhan”, suatu
kombinasi yang tak lazim. Namun demikian, satuan-satuan sajak yang mengambang
ini ternyata saling mendukung, membentuk sebuah lukisan suasana yang kuat. Rima
luar dan rima dalam, dan pertalian imaji yang ketat (antara kapal-kapal yang
berkakuan dan si kawan yang menjadi rangka, misalnya) tentu saja hanya
terselenggara berkat disiplin. Dan inilah paradoks yang nikmat dalam berbagai
sajak penyair yang wafat di Jakarta pada usia 27 tahun ini: kita asyik
menjelahi rerinci, namun pada saat yang sama kita meresapkan keseluruhannya.
Malah
tak jarang cukuplah kita puas (dan sekaligus terkejut selalu) dengan sebuah
bagian atau sebuah frase saja dari Chairil Anwar, sementara bentuk sajak dalam
keseluruhannya hanyalah wadah untuk menonjolkan evokasi yang sedikit itu. Pada
sajak “Di Mesjid”, Tuhan bukanlah Dia yang didatangi, tetapi yang dipaksa
datang dengan seruan, dan ruang ibadah menjadi ruang di mana si aku dan Tuhan
“binasa-membinasa”, berperang. Antitesis-nya barangkali adalah puisi “Doa”, di
mana si aku di depan Tuhannya menjadi “hilang bentuk” dan “remuk”. Dalam sajak
“Hampa”, sepi bukan lagi hanya situasi, tetapi menjadi organisme, yang melalui
pengulangan bertingkat menjadi kian besar, membuat pohonan lurus-kaku dan setan
bertempik. (Bagi saya, “Hampa”, lagi-lagi, melanjut-tumbuhkan sajak “Sunyi Itu
Duka”[9] Amir
Hamzah.) Namun dalam mencipta gambaran yang baru, visi yang mengatasi nalar
umum itu, si penyair menanggung risiko kegagalan—atau temuannya aus oleh waktu.
Frase “aku ini binatang jalang” dari sajak “Aku” (atau “Semangat”) memang baris
yang mudah diingat, tetapi jadi “lucu” dan remaja jika dibaca pada hari ini.
Sementara itu, frase “hidup hanya menunda kekalahan” (dari sajak “Derai-derai
Cemara”) hanyalah pernyataan semu-filsafat. Tentu saja, cacat demikian kita
rasakan hanya jika kita memisahkan frase-frase bersangkutan dari bangunan sajak
keseluruhan.
Sambil
menyelami Chairil Anwar, kita juga mencurigainya. Segenap cacat yang barusan
saya bicarakan, terkadang memang diperlukan untuk terciptanya sebuah lukisan,
yakni lukisan suasana. Puisi modern bukan hanya memerlukan frase-frase
mengambang dan celah bisu di antaranya, tapi juga derau, gangguan, di dalam
frase itu sendiri. Ada sejumlah sajak Chairil yang tetap susah terpahamkan
hingga hari ini tapi kita baca terus-menerus: karena di sanalah kita melihat
lukisan. Jika narasi tersusun secara temporal—yakni kita baca berurutan dari
awal hingga akhir—maka lukisan terbuat secara spasial—yakni kita tangkap
sekaligus dalam keutuhannya. Sajak sebagai lukisan ternikmati karena ia
mengandung tegangan antara yang spasial dan yang temporal. Sajak-sajak seperti
“Catetan Th. 1946” dan “Kabar dari Laut,” misalnya, seperti mengandung larik-larik
yang hendak berlari sendiri-sendiri, atau terasa canggung rancangannya. Namun
derau dan “inkoherensi” semacam inilah yang menjadikan sajak-sajak itu lukisan
modern, di mana kita beroleh pengalaman inderawi sambil terlucut dari arti.
Sajak-sajak itu menjadi lukisan karena fragmen-fragmennya disatukan oleh
matriks yang terbentuk oleh sunyi dan rima. Tidak jarang pula Chairil
mengorbankan nahu dan morfologi demi mencapai kepadatan; lihat, misalnya,
frase-frase seperti “kita jalan sama” (sajak “Kawanku dan Aku”) atau “hujan
menebal jendela” (sajak “Dalam Kereta”).[10] Suatu
upaya untuk mengambil kelisanan ke dalam puisi? Barangkali saja. Atau kegagapan
Chairil menggumuli tulisan? Namun jelaslah semua cacat yang ditimbulkannya
menjadi derau yang menyedapkan, yang menimbulkan rasa curiga yang mengikat kita
dalam keseluruhan kerangka bentuk sajaknya.
Frase-frase
idiosinkratik, yang seringkali berlebihan kadar itu, adalah risiko tak
terelakkan dari seorang perajin-pencari seperti Chairil Anwar. Pandangan
romantik mengalamatkan bahwa ekspresi demikian hanya bisa dicetuskan oleh
penyair yang “berani hidup”[11]; bahwa Chairil
menempuh kejalangan untuk mencapai kebaruan ungkapan. Saya menampik pandangan
ini. Membaca puisi Chairil Anwar pada hari ini adalah memberi perhatian kepada
keperajinannya, pada ketajamannya menggali bahasa, pada keluasan wawasan
sastranya. Para penyair yang memberi tekanan pada kejalangan Chairil—dan
mengira si aku dalam puisinya sebagai si penyair sendiri—terbukti hanya menjadi
pengikutnya, mereka yang menghasilkan puisi gelap setelah ia. Sajak-sajak
Chairil Anwar adalah puisi yang wajar, tetap wajar pun jika dibaca pada hari
ini, sementara puisi yang berpretensi baru, “lain daripada yang lain”, menjadi
sekadar puisi gelap—“puisi emosi semata-mata” dalam kata-kata Asrul Sani di
tahun 1948[12]—yang sudah
layu, milik masa lampau. Puisi—tepatnya, sebagian sajak—Chairil Anwar juga
bukan hanya berterima, tetapi bisa menjadi model yang hidup hingga hari ini,
meski model ini tersembunyi sekalipun di bawah permukaan puisi yang
dipengaruhinya. Bagi saya, kuatrin-kuatrin Sapardi Djoko Damono dan Goenawan
Mohamad berhutang kepada sajak-sajak Chairil seperti “Senja di Pelabuhan Kecil”
dan “Derai-derai Cemara”. Model yang dibangkitkan Chairil bagi para penyair
setelahnya pernah saya lukiskan sebagai berikut:
…Chairil Anwar memelihara hubungan antara
kalimat-kalimat sumbang—ya, sumbang, jika diukur dengan cara prosa—dengan
bentuk persajakan yang tertib, yaitu kuatrin. Seakan-akan bentuk yang sudah
mantap dalam sejarah perpuisian dunia itulah—jangan lupa, Chairil juga
menggunakan bentuk sonet—fragmen-fragmen kehidupan modern memunculkan diri
kembali, kali ini secara lebih ajaib. Karena kata-kata memang belum selesai
memancarkan keajaibannya, yaitu bahwa arti mereka yang dikandung oleh kamus
barulah setahap kemungkinan arti belaka, dan ini hanya dimungkinkan jika si
kata duduk dalam frase yang mengambang, bahkan seakan mengelak dari frase-frase
sebelum dan sesudahnya. Namun sekali lagi, frase-frase ini tak bisa terlalu
berlepasan, bagaimanapun mereka harus diikat oleh bentuk persajakan yang
teratur, dengan rima yang terjaga. Atau, jika dikatakan dengan cara lain:
bentuk-bentuk teratur-konvensional yang dipakai Chairil memang tidak pernah
genap, selalu mengandung selisih: memang ada rima, tetapi larik-lariknya seakan
mengerut di satu bagian dan merentang di bagian lain. Dan selalu ada derau di
sana, yang mengganggu keindahan, ya, paling tidak mengusik tata bunyi dan tata
rupa yang dicita-citakan kaum pujangga, keindahan yang mengandung “rasa yang
dalam” dan “budi yang tinggi”. Derau itu muncul dalam wujud, misalnya, gabungan
kata yang tak wajar, sepotong ide yang muncul tiba-tiba, atau kalimat yang
berakhir sebelum waktunya. Kadang-kadang, bila kalimat-kalimat Chairil tampak
lebih teratur, dan larik-lariknya terasa lebih genap… maka ternyatalah betapa
licin sajak itu mengadopsi, sekaligus menyelewengkan, bentuk persajakan
tradisional, yaitu pantun… dan betapa “isi”-nya yang semu-falsafi hanya topeng
belaka bagi bentuknya.[13]
Penyair
menghadapi tradisi yang ada di belakangnya; dan jika tradisi itu terlalu besar
dan membebani, maka ia memilih sejumlah pendahulu belaka. Tetapi, seperti
dikatakan Jorge Luis Borges, ia bukan hanya memilih, melainkan menciptakan para
pendahulunya, dan dengan itu karyanya mengubah cara kita memandang masa lalu
dan masa depan.[14]Demikianlah saya
dalam tulisan ini mempersambungkan Amir Hamzah, Chairil Anwar, Sapardi Djoko
Damono dan Goenawan Mohamad. Sapardi menegaskan bahwa sajak-sajak Chairil yang
berhasil adalah yang kembali kepada bentuk klasik; tetapi buat saya, secara
lebih gamblang lagi, Sapardi telah mengambil kuatrin-kuatrin Chairil yang
jernih dan genap sebagai modelnya sendiri. Sementara itu, Goenawan, lebih
menyerap kuatrin-kuatrin yang mengandung derau dan disharmoni, juga sajak-sajak
bebas Chairil. “Nyanyi sunyi kedua,”[15] adalah
penamaan Goenawan untuk Duka-Mu
Abadi, buku puisi Sapardi yang terbit pada
tahun 1969, dan dengan itu pula ia menandai kebangkitan kembali tradisi puisi
lirik Amir Hamzah-Chairil Anwar.
Jejak-jejak
Chairil juga tampak pada para penyair yang kelihatan tak terpengaruh olehnya,
atau yang mengambil ia sebagai antitesis. Pantun-pantun baru Sitor Situmorang
jelas melanjutkan jalan yang sudah ditempuh aneka kuatrin dan sonet Chairil
Anwar, apalagi jika kita timbang bahwa Sitor juga gemar menggunakan katabenda
abstrak dan penyataan semu-falsafi. W.S. Rendra menulis puisi naratif sebagai
alternatif terhadap puisi Chairil dan para epigonnya, akan tetapi tampaklah
bahwa sajak-sajak Rendra juga sering bergantung kepada frase-frase mengambang
ala Chairil. Sutardji mengatakan puisinya kembali kepada mantra, tetapi Chairil
Anwar sudah jauh lebih dulu menulis mantra modern seperti “Cerita Buat Dien
Tamaela” (dan, tentu, sebelumnya, ada “Batu Belah” dari Amir Hamzah). Gerimis
dan hujan dalam puisi Sapardi Djoko Damono, dan angin dalam puisi Goenawan
Mohamad adalah metamorfosis dari kata-kata yang sama dari Chairil: itulah yang
saya maksudkan bahwa penyair menghidupkan kata, memberi nafas baru pada kata melalui
rancang-bangun puisinya; dan kata itu pun akan menggoda para penyair yang
kemudian. Cara Chairil dalam menyatakan Tuhan, tentulah juga membangkitkan
minat para penyair lain untuk melukis-Nya dengan cara yang belum pernah
terbayangkan sebelumnya; kita baca, misalnya, “masih terdengar sampai di sini /
duka-Mu abadi” (Sapardi)[16]; “Tuhan, kenapa
kita bisa / bahagia?” (Goenawan)[17]; “maut
menabung-Ku / segobang-segobang,” (Sutardji).[18]
Chairil
Anwar bukanlah sebuah monumen, melainkan situasi, yakni situasi yang membuat
kita, untuk menggunakan kata-katanya sendiri, “menimbang, memilih, mengupas dan
kadang-kadang sama sekali membuang”—dan ini tentu berlaku bilamana kita membaca
puisi Chairil sendiri. Yakni bahwa tidak seluruh sajaknya berhasil atau
hangat-dibaca di zaman kita,[19] tapi dari
kompleks kekaryaannyalah para penyair dan pengupas—juga kita, pembaca—selalu
bisa memilih model mana untuk diperihalkan, ditandingi, bahkan ditolak: melalui
Chairil kita tahu apa-apa yang belum dikerjakan sastra Indonesia. Saya sendiri
ingin berkata bahwa sejumlah sajaknya masih terasa sulit hingga hari ini—dan
inilah kesulitan yang justru menggarisbawahi bahwa puisi memang hendak
mengatakan apa-apa yang mustahil dikatakan oleh bahasa. Chairil Anwar
menularkan kesulitan itu kepada kita semua: yakni bahwa penyair harus memiliki,
untuk mengutip ungkapan W.B. Yeats, fascination
with the difficult,[20] untuk
mencapai tenaga bahasa yang belum terbayangkan sebelumnya. Seorang penyair yang
unggul menempuh kesulitan tersebut bukan hanya untuk menguji ketrampilan dan
kegandrungannya akan bahasa, tapi juga untuk memperkaya cara pandang kita
terhadap dunia.
Situasi Chairil Anwar juga memungkinkan
kita bersikap tajam terhadap arus umum yang menyatakan bahwa puisi adalah
pantulan riwayat penyairnya. Bagi saya kini, Chairil adalah kerja sastra dengan
banyak fasetnya, yang kita tafsirkan terus-menerus; pada suatu ketika kita
harus “membunuh” si penyair, karena riwayat penyair hanya memiskinkan tindak
pemaknaan kita. Memelihara mitos tentang si binatang jalang hanya menjerumuskan
sastra kita ke dalam nostalgia dan kelisanan. Melalui Chairil, puisi kita kini
telah bercabang ke sejumlah arah, di mana si aku atau si ia dalam puisi bukan
lagi sosok penyair; atau, melalui puisi, penyair hendak membunuh dirinya yang
sehari-hari, supaya bahasa leluasa menampilkan keajaibannya. Seperti Chairil,
setiap penyair mestinya bergulat dengan bahasa dan tradisi sastra yang ada
sebelum ia: ia tak menghamburkan keseorangannya, tapi menjalinkan diri dengan
para pendahulu yang diciptakannya dari tanah airnya sendiri maupun aneka
belahan bumi. Dengan tradisi yang dikembangkannya, puisi Chairil Anwar adalah
puisi hari ini kapan saja kita membacanya. []
Nirwan Dewanto, menulis puisi, esai, maupun genre-genre sastra yang
lain. Ia pernah menempuh sejumlah program residensi, antara lain di
International House di Tokyo, Jepang; University of Wisconsin di Madison,
Wisconsin, USA; International Writing Program di University of Iowa, Iowa City,
USA. Buku puisinya adalah Jantung Lebah Ratu (2008).
[1]^ Dalam tulisan ini saya gunakan dua istilah,
“puisi” dan “sajak”: puisi adalah khazanah persajakan, yakni poetry dalam bahasa Inggris; sedangkan
sajak(-sajak) adalah poem(s).
[2]^ Esai-esai Chairil Anwar, juga berbagai puisi
dan prosa yang ia terjemahkan sebagian atau seluruhnya, juga sajak-sajak
Chairil sendiri yang belum pernah terbit pada masa sebelumnya, bisa kita baca
dalam buku suntingan H.B. Jassin, Chairil Anwar Pelopor Angkatan
45 (Jakarta: Gunung Agung, 1956). Ejaan disesuaikan untuk
kutipan yang saya pakai dalam tulisan ini.
[3]^ Baca esai Chairil “Pidato Radio Chairil Anwar
1943”, dalam Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45.
[4]^ “Hoppla”, dalam Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45.
[5]^ A. Teeuw pernah menulis bahwa “Berdiri Aku”
adalah hipogram dari “Senja di Pelabuhan Kecil”; baca esainya “Estetik,
Semiotik, dan Sejarah Sastra”, dalam kumpulan esainya Membaca dan Menilai Sastra (Jakarta: Gramedia,
1983).
[6]^ Judul “Derai-derai Cemara” datang dari
Pamusuk Eneste, editor buku sajak-sajak lengkap Chairil Anwar, Aku Ini Binatang Jalang, yang sedang anda baca.
Sesungguhnya sajak ini tak berjudul.
[7]^ Chairil telah menerjemahkan, atau mencoba
menerjemahkan, sajak-sajak bebas, misalnya, T.S. Eliot, Rainer Maria Rilke,
W.H. Auden, Archibald MacLeish, Hendrik Marsman, E. du Perron, J. Slauerhoff.
LihatChairil Anwar Pelopor Angkatan 45. Dengan penerjemahan
(dan penyaduran) ini Chairil menyerap modernisme dunia.
[8]^ Saya pilih satu dari dua versi. Dalam Aku Ini Binatang Jalang, kedua versi dimuat.
[9]^ Sajak sebait-empat-larik ini sesungguhnya tak
berjudul. Editor Oyon Sofyan mengambil larik pertama sebagai judul; baca Amir
Hamzah,Padamu Jua: Koleksi Sajak 1930-1941 (Jakarta:
Grasindo, 2000).
[10]^ Zen Hae menulis, dalam esainya “Chairil dan
Sebuah Lompatan” yang dibawakannya di Freedom Institute, Jakarta, 29 April
2010, bahwa kita bisa merekonstruksi frase “kita jalan sama” menjadi, misalnya,
“kita di jalan yang sama,” “kita ke jalan yang sama,” “kita berjalan bersama,”
“kita jalani bersama”. Kemudian, saya harap, kita bisa pula “memperbaiki” frase
“hujan menebal jendela” menjadi, misalnya, “hujan menebal di jendela” atau
“hujan menebalkan jendela”.
[11]^ “Aku suka pada mereka yang berani hidup”
adalah satu larik dari puisi Chairil “Prajurit Jaga Malam”. Termuat pada Aku Ini Binatang Jalang.
[12]^ Asrul Sani, “Deadlock pada Puisi Emosi
Semata”, dalam kumpulan esainya Surat-surat Kepercayaan,
suntingan Ajip Rosidi (Jakarta: Pustaka Jaya, 1997).
[13]^ Esai saya, “Titik Tengah”, berbicara tentang
sajak-sajak Sapardi Djoko Damono, termasuk hubungannya dengan puisi Chairil
Anwar dan avantgardisme Indonesia. Termuat dalam bungarampai Membaca Sapardi, susunan dan Riris K. Toha-Sarumpaet
dan Melani Budianta (Jakarta: Pustaka Obor & HISKI, 2010).
[14]^ Baca Jorge Luis Borges, “Kafka and His
Precursors”, terjemahan dari Spanyol ke Inggris oleh Eliot Weinberger,
dalam Selected Non-Fictions, editor Weinberger (New York:
Viking, 1999).
[15]^ Goenawan Mohamad, “Nyanyi Sunyi Kedua:
Sajak-sajak Sapardi Djoko Damono 1967-1968,” Horison, Februari
1969.
[16]^ Sajak “Prologue”. Sapardi Djoko
Damono, Duka-Mu Abadi, cetakan kedua (Jakarta: Pustaka Jaya,
1975).
[17]^ Sajak “Dingin Tak Tercatat”. Goenawan
Mohamad, Sajak-sajak Lengkap 1961-2001 (Jakarta: Metafor,
2001).
[18]^ Sajak “Hemat”. Sutardji Calzoum
Bachri, O Amuk Kapak (Jakarta: Penerbit Sinar Harapan,
1981).
[19]^ Nilai puisi Chairil Anwar seringkali
bergantung kepada aspirasi sang pembahas. Sapardi Djoko Damono memilih
sajak-sajak Chairil yang berbentuk kuatrin dan sonet, dan mengecam sajak-sajak
bebasnya; baca esai Sapardi “Chairil Anwar: Perjuangan Menguasai Konvensi”
dalam kumpulan esainya Sihir Rendra: Permainan Makna (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1999). Sebaliknya, A. Teeuw dan Goenawan Mohamad menghargai
tinggi-tinggi puisi bebasnya; baca, misalnya, esai Teeuw “Sudah Larut Sekali”
dalam kumpulan esainya Tergantung Pada Kata,
cetakan kedua (Jakarta: Pustaka Jaya, 1983); dan esai Goenawan “Isa dan
Beberapa Metamorfosis” dalam kumpulan usainya Eksotopi: Tentang Kekuasaan,
Tubuh, dan Identitas (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2002).
[20]^ Saya kutip dari pengantar Seamus Heaney
untuk sajak-sajak W.B. Yeats yang dipilihnya, Poems Selected (London:
Faber and Faber, 2000).
0 komentar: