Tampilkan postingan dengan label puisi. Tampilkan semua postingan

Adam di Firdaus dan Tiga Sajak Lain Subagio Sastrowardoyo

(image from: pinterest.com)

JARAK
Bapa di sorga.
Biar kita jaga jarak
ini antara kau dan aku
Kau hilang dalam keputihan ufuk
Dan aku tersuruk ke hutan buta.
Hiburku hanya burung di dahan
dan jauh ke lembah
gerau pasar di dusun.
Aku tahu keriuhan ini
hanya sekali terdengar
Sesudah itu padam segala suara
dan aku memburu ke pintu rumah.
Bapak di sorga,
biarlah kita jaga jarak ini
Sebab aku ini manusia mual
Sekali kau tampak telanjang di hutan
aku akan berteriak seperti Yahudi :
“Salib!”
Dan kau akan tinggal sebungkah
lumpur lekat di kayu.
EKSPRESI
kepada Affandi
Luka terlalu parah
tak tertampung dalam cermin
Tubuh yang terbayang
sepi — menepiskan bentuk.
Bahkan merah hitam
yang terpalut di atas kanvas
tak kuasa menjeritkan
derita — menikam dalam.
Hanya darah, mungkin
Darah sendiri yang tergarit dengan jari
di dinding — jari yang gementar dalam lapar.
ADAM DI FIRDAUS
Tuhan telah meniupkan nafasnya
ke dalam hidung dan paruku
Dan aku berdiri sebagai adam
di samping sungai dua bertemu.
Aku telah mengaca diri
ke dalam air berkilau. tiba aku terbangun
dari bayanganku beku:
Aku ini makhluk perkasa dengan dada berbulu.
Aku telanjangkan perut dan berteriak:
“Beri aku perempuan!” dan suaraku
pecah pada tebing-tebing tak berhuni
Dan malam Tuhan mematahkan
tulang dari igaku kering dan menghembus
nafas di bibir berembun. Dan
subuh aku habiskan sepiku pada tubuh bernafsu
Ah, perempuan!
Sudah beratus kali kuhancurkan badanmu diranjang
Tetapi kesepian ini, kesepian ini
datang berulang.
MERAH
aku suka kepada merah
kerana mengingat kepada darah
yang berteriak ke arah sawang
merebut terang.
darah mengalir
waktu lahir
darah mengalir
waktu akhir
darah
getah bumi
membeku
pada aku
dalam darah
berbayang
nyawa
pucat bagai siang.
KAMPUNG
Kalau aku pergi ke luar negeri, dik
kerana hawa di sini sudah pengap oleh
fikiran-fikiran beku.
Hidup di negeri ini seperti di dalam kampung
di mana setiap orang ingin bikin peraturan
mengenai lalu lintas di gang, jaga malam dan
daftar diri di kemantren.
Di mana setiap orang ingin bersuara
dan berbincang tentang susila, politik dan agama
seperti soal-soal yang dikuasai.
Di mana setiap orang ingin jadi hakim
dan mengeroyok keluarga berdansa, orang asing
dan borjuis yang menyendiri
Di mana setiap tukang jamu disambut dengan hangat
dengan perhatian dan tawanya.
Di mana ocehan di jalan lebih berharga
dari renungan tenang di kamar.
Di mana curiga lebih mendalam dari cinta dan percaya.
Kalau aku pergi ke luar negeri, dik
karena aku ingin merdeka dan menemukan diri.

Dikutip dari kumpulan puisi Simfoni (1957) oleh Subagio Sastrowardoyo (1924-1995), penyair Indonesia yang lahir di Madiun, Jawa Timur. Selain menulis puisi beliau juga seorang pensyarah, cerpenis, kritikus sastera dan eseis.

Perasaan

Oleh: Pramudyasari


Awal dari sore
Jingga menganga di langit
Awal lebih dalam
Datang bersama lagu
Awal perasaan
Hati yang memilih
Awal cerita
Empat mata bertemu satu koordinat

Kuharapkan lagi tiupan itu
Kuanggap milik ku

KITA MENOLAK! (Mentah-Mentah)

Oleh Shima Aura Annisa


Kenapa KITA yang harus menjadi Kelinci Percobaan?
Anda tahu, betapa kesalnya saat mendengar kabar itu?
Baik? Itu menurut anda!
Bagi kita itu berita buruk.
Jaket berbulu ini sudah hangat
Kenapa harus dilepas?!
Kita sudah nyaman
Kita tak perlu berubah
Toh jika tidak ada ini anda tidak dirugikan.
Empatilah sedikit.
Anggap anakmu adalah Kita!

Tertunduk Terdiam

Karya : Andisa Rizky

Memandang wajahmu dari balik jendela kamarku itulah yang kerap kulakukan.
"Hai" Tegurmu di pagi itu saat ku hendak pergi menuju kampus
Aku hanya terdiam dan tersenyum sembari mengangguk.
Entah mengapa
apa yang tersirat dalan benak ini saat bertatap denganmu seketika diriku hening.
Bisu dan gagu.
Jatuh cinta?
Tidak aku hanya menganggumi dalam diam dibalik gorden jendela kamar...

Surabaya 14 September 2016~

Bercerita Menjadi Cinta



Oleh : Hijriyati Nur Afni



Mari mengulang obrolan ringan dibawah langit malam yang tenang
Di rumah sederhana tanpa jendela
Kita terduduk berdua menceritakan rasa, perasaan, dan kenangan
Kau bercerita tentang perempuan pemilik abadi hatimu
Dan aku menceritakan lelakiku yang hatinya belum kembali dari masalalu
Kian larut, kita tenggelam
Dingin menusuk, kita terdiam
Kehabisan kata untuk melukiskan yang ada
Masih ingatkah perapian kecil ditepian pintunya ?
Api kecil yang kau buat penuh tenaga
Untuk menjadi penerang dan penghangat pilu yang sedang bertamu di puncak itu
'Let Her Go' Passenger yang sedang kau putar
Semakin meyakinkan bahwa kita memang sedang terluka oleh rasa yang tak semestinya ada
Kita terdiam mengamati langit malam
Saling mengobati luka-luka yang menganga
Aku ingin mengulang itu semua
Dan berganti cerita
Karena sejatinya denganmu, lukaku bertemu penawarnya
Semoga kaupun juga

KITA ADALAH PUISI DALAM PERLAWANAN



(image from tumblr)

Oleh: Egi Heryanto


Otoritas bisa jatuh hari ini, besok, atau kapan saja
Kesadaran diri tidak menjadikan arti kalau arah arus belum terbalikkan
musuh bersama hanya langkah awal,
pergerakan tidak semudah
mengarang dongeng pengantar tidur.
dan harus kau ketahui
banyak yang sudah mati di jalan ini.

Hegemoni bisa lenyap hari ini, besok, atau tidak sama sekali
persatuan adalah kebutuhan
persamaan adalah satunya-satunya ukuran
kita akan lama berada di garis depan
memisahkan berani dengan basa-basi
mereduksi kepentingan hierarki
juga aksi tanpa arti.
waktu adalah penghakiman bagi siapa saja yang lemah.
dan harus kau ketahui
menciptakan sejarah besar
tidak seperti menanak nasi.

Tirani bisa hilang hari ini, besok, atau suatu saat nanti
tapi bukan dengan demokrasi
bukan dengan tipu muslihat semacamnya.
Ingatlah Rendra, Ingatlah Wiji.
Diktat-diktat hanya memberi metode
tapi kitalah yang mesti merumuskan keadaan.
kita adalah perlawanan,
kita bukan hidup karena perlawanan
kita hidup untuk menghidupi perlawanan
agar bisa kau ketahui
telah banyak dari mereka tidak memahami untuk apa berada di sini.

Besok,
segalanya bisa lenyap.
tapi waktu dan tuhan tetap ada
walau tidak untuk siapa-siapa.
pilihan kita akan sampai pada kegamangan.
hati kita akan bertatapan dengan dilema dan perasaan takut.
kita akan diinjak kekuatan yang telah salah kita perkirakan
kita akan remuk setiap kali beradu dengan popor senapan.
nyawa kita tak semahal perdebatan sesama
darah kita tak sebanyak pertentangan yang memisahkan tujuan bersama,
sejak kapan kita sekaku ini?

suatu saat nanti kita akan mendengar dentuman itu,
prosesi kejatuhan yang kita awali
dari lusinan kata-kata yang menetas tiap saatnya
membangkitkan kesadaran,
menajamkan pikiran,
juga melepaskan keresahan.
sebab perlu kau ketahui
kata-kata begitu sakti
dan puisi adalah bentuk perlawanan paling indah.


suatu saat nanti, entah kapan.

Ruang Prahara, 18 Oktober 2016


(image from tumblr)

"Sebat"

Oleh : Boris Gabe Tobing

Aku nongkrong, tapi cuma satu bokong. Hanya satu kursi kosong yang terisi. Serta telapak tangan basi yang sudah lama tidak kau hangatkan. Keringatmu yang tiba-tiba muncul disela kita bergandengan tangan. Ah begitu sukar dilupakan, karena memang enggan.

Aku masih nongkrong, diatas kursi yang aku pandang dan duduki pertama kali diantara puluhan kursi kosong. Sama seperti kau yang kupandang dan kucinta pertama kali ditengah keramaian pasar malam sabtu kemarin. Yang aku lihat, mulutmu asal ketus mengeluarkan jajaran kata main-main di depan teman-temanmu yang tertawa dan tidak yakin dengan celotehmu yang memang difungsikan untuk main-main

Kopi pesananku datang, ditemani air mineral. Untuk mengimbangi kopi hitam yang akan aku ganyang. Beda halnya dengan aku.  Yang datang sebat, sebab tidak kau temani. Walau hanya sekedar duduk berdampingan. Agar kursi-kursi ini tidak mubadzir keberadaannya. Syukur, kalau kau bersedia, mengimbangi ketusku yang main-main dengan tawamu yang tidak pernah main-main

Sampai sekarang, tengah malam. Aku masih nongkrong sebat, sebatang. Sambil melamun, membayangkan ada kau meminum kopi yang sengaja aku pesan dua. Letak gelasnya berdampingan dengan gelas kopiku, yang memang sengaja aku dampingkan. Agar saat kau datang, kau tahu harus duduk dimana, dan bingung harus meminum dari gelas yang mana

(Colomadu, sedang rindu,  18 oktober 2016)

Proses Kreatif: Penulis sebagai si Juru Masak


(image from: pinterest.com)


Oleh: Eka Kurniawan

Tugas pertama seorang penulis, menurut saya, kurang lebih mirip dengan juru masak, yakni: tidak membuat tulisan yang tidak enak dibaca. Menulis apa pun, baik sekadar surat pembaca maupun traktat filsafat, sebaiknya memang enak dibaca. Percuma bukan, menulis ratusan halaman jika orang hanya betah membaca satu-dua paragraf? Percuma bukan, memasak berloyang-loyang jika orang hanya tahan makan satu suap?

Dalam proses kreatif saya sebagai penulis, saya belajar banyak dari para juru masak (dan bukan kebetulan jika saya pernah menulis sebuah cerita pendek mengenai juru masak terkenal abad kesembilan belas, berjudul “Kutukan Dapur”, dalam Cinta tak Ada Mati). Seperti para juru masak, saya selalu berusaha memperoleh bahan-bahan terbaik (segar dan bergizi) untuk setiap tulisan.

Kecuali singkong yang dibakar di ladang, kita tahu sebagian besar makanan yang kita makan merupakan olahan dari berbagai bahan. Ada buah kol, kentang, wortel, dan ceker ayam dalam sup yang dibikin ibu saya setiap kali saya pulang (sebab itu makanan favorit saya). Demikian pula dalam sebuah tulisan, kita bisa menemukan pengalaman hidup penulis, peradaban suatu zaman, atau mungkin analisa mengenai arsitektur sebuah kota.

Dalam novel pertama saya, Cantik itu Luka, saya mencambur beberapa bahan yang menjadi favorit saya: filsafat, mitologi, sejarah, dan folklore. Dalam novel kedua saya, Lelaki Harimau, dalam adonan saya terdapat sebuah peristiwa nyata dan sebuah dongeng turun-temurun. Aha, ya, tampaknya ada bahan-bahan yang kontradiktif: filsafat dan mitologi? Folklore dan sejarah? Peristiwa nyata dan dongeng?

Orang-orang di kampung saya tak terbiasa memakan roti dan daging. Tapi saya sudah lama terbiasa makan burger (makanan praktis buat orang yang tak suka makan berlama-lama seperti saya). Dan jangan lupa, di beberapa tempat, orang makan nasi dengan pisang, atau makan pisang dengan ikan (kalau ini sungguh saya tidak bisa). Saya pikir juru masak yang baik selalu memiliki cara untuk mencampur bahan apa pun, sebagaimana penulis yang baik mestinya tak bermasalah membaurkan fakta dan fiksi.

Mengenali bahan dengan baik, tentu merupakan syarat untuk bisa mengolah bahan-bahan ini menjadi baik pula. Seorang juru masak yang baik mestinya tahu apa yang terkandung di dalam makaroni, kalau perlu hingga nilai gizi per takarannya.

Dalam Cantik itu Luka, gagasan utama penulisan novel itu berawal dari pertanyaan mengenai sejarah. Pertama-tama tentu saya harus membongkar dulu asumsi-asumsi filosofisnya (kebetulan saya belajar di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, sehingga tak terlalu kesulitan untuk memetakan berbagai pandangan mengenai filsafat sejarah).

Kedua, tentu saya juga mesti masuk ke materi-materi sejarah di mana novel itu akan diletakkan (saya berpikir, cara terbaik membahas filsafat sejarah dalam sebuah novel tentu harus mengisahkan sebuah momen sejarah tertentu). Karena saya bukan ahli sejarah, saya mempergunakan materi-materi skunder yang ditulis oleh para sejarawan, terutama meliputi masa awal Perang Dunia II hingga masa pemerintahan Soeharto. Dari penelitian ini, misalnya, saya tahu Perusahaan Unilever telah memproduksi Blueband sejak masa kolonial (dan barangkali tak banyak yang tahu, perusahaan itu masih milik Belanda).

Karena pokok novel ini adalah filsafat sejarah (dengan kata lain, novel tentang sejarah dan bukan novel sejarah), saya harus membuka diri pada pandangan lain mengenai sejarah. Jika kita membuka ulang tradisi babad kita (misalnya Pararaton, Negarakrtagama, atau Babad Tanah Jawi), kita melihat pandangan sejarah yang khas Jawa: sejarah hidup berkelindan bersama kepercayaan, folklore, dan mitologi. Itulah mengapa folklore dan mitologi hadir pula dalam novel ini.

Dan jangan lupa, di dalam satu adonan, tak hanya bahan-bahan pokok yang hadir, namun juga ada bumbu-bumbu. Bumbu-bumbu ini seringkali justru yang membuat bahan-bahan pokok terasa lebih enak. Saya pikir, demikian pula di dalam sebuah novel, atau tulisan apa pun, kita membutuhkan bumbu untuk membuat tulisan menjadi lebih manis atau asin, atau pedas (dalam tulisan berarti lebih tragis, dramatis, memilukan, atau apalah).

Dalam tulisan, kita hadirkan hal-hal yang barangkali tak pokok, tapi berjasa membuat hal yang pokok menjadi menarik: di sana hadir lelucon, interupsi, lanturan, deskrisi. Selama tidak berlebihan, apalagi mengalahkan yang pokok, bumbu akan sangat berguna bagi hidangan akhir.
Saya tak mungkin melupakan bahasa dalam pembahasan ini, sebagai satu hal yang membuat tulisan menjadi mungkin. Saya tak ingin mempersamakan bahasa dengan perkakas. Tidak, perkakas adalah perkakas: laptop, kertas, pensil, barangkali fungsinya akan sama dengan wajan dan pisau. Bahasa, dalam dunia si juru masak, barangkali lebih tepat dikatakan sebagai api. Ya, api untuk menggoreng, memanggang, atau membakar, itulah bahasa.

Sebagaimana juru masak harus mengenali api, demikian pula penulis mengenali bahasanya. Api yang terlalu panas akan membuat gosong (mentah di dalam). Bahasa yang terlalu berkobar-kobar, hanya menyengat di mata, ketika dibaca, barangkali tak ada isinya. Demikian pula bahasa yang tak terlampau bertenaga, hanya membuat tulisan mentah, tak peduli betapa penting bahan di dalamnya.

Dalam berbahasa, saya tak hanya peduli pada gramatika, tapi juga perdebatan mengenai gramatika (saya sarankan untuk membaca Of Gramatology Derrida). Seorang penulis juga semestinya (barangkali sepele bagi kebanyakan penulis, tapi di sinilah perbedaan penulis yang serius dan tidak), membekali diri dengan kamus. Paling tidak Kamus Besar Bahasa Indonesia, bukan?

Untuk hal ini, saya punya kebiasaan untuk menghapal nama-nama, terutama nama-nama benda-benda. Bagi penulis yang berbahasa ibu bukan bahasa Indonesia (sebagian besar penulis Indonesia dibesarkan dalam bahasa daerah), sering menjadi problem untuk memberi nama-nama benda dalam bahasa Indonesia. Kamus dan kebiasaan mencatat menjadi hal penting.

Dari sini, kembali belajar dari juru masak yang baik, saya percaya menjadi penulis yang baik bukanlah (sebagaimana banyak dianjurkan buku pelajaran menulis) “menulis apa yang kita paling tahu”, tapi justru sebaliknya, “menulis apa yang paling tidak tahu”. Saya percaya ini, karena pengetahuan saya barangkali tak jauh berbeda dengan yang pengetahuan orang lain, dan apa maknanya berbagi pengetahuan yang sama-sama kita tahu? Menulis apa yang tidak diketahui, pada akhirnya membawa kita pada tradisi yang baik: penelitian.

Oh ya, juru masak yang baik tak hanya bisa membuat masakan yang bergizi, tapi mestinya piawai juga membuat adonan beracun, bukan? Hati-hati jika membaca, sebaiknya cuci tangan dulu.

Artikel ini saya tulis untuk majalah Matabaca edisi November 2006.

*diambil dari http://ekakurniawan.net/blog/penulis-sebagai-si-juru-masak-109.php

Aku dan Rasa




Oleh : Davina Setya Sukana


Senandung lembutmu tuturkan rasa .
Rasa yang sebelumnya tak pernah ada
Muncul dengan sendirinya di hidupku                                               mendua hati tak mau bicara                            sebenarnya                                                       ada apa denganku ini ?                                hati kecilku belum mengerti                               apa itu jatuh hati ??                                 sukarku membuang mata                        untukmu                                                         diam seribu bahasa

Benar-Benar Cinta Sederhana



Oleh : Ryan Prihantoro


Karpet coklat, hitam, merah, sedikit warna krem
Kipas yang mulai lelah bernafas
Terdengar lehernya mulai sakit
Koin tersebar di mana tempat, karena berasa koin tak punya makna
Buku; Buku tugas ; leptop yang terus terusan menyanyi dari rekaman Iwan Fals, Koes plus dan itu itu lagi
Padahal malam ini hujan tak datang, terasa gerah entah karena badan tak lengkap tersiram air
Karena malas saja, karena ingin seperti ini

Ku baca sendiri, sendiri
Terbesit logika yang memaksa untuk diterjemah dalam kata
Kata pertama ialah sederhana
"Aku benar benar cinta sederhana"
"Aku benar ingin bergembel ria"
"Lukisan poster seminar seminar nasional tentang ekonomi, tentang berbagai pelik negri, kurasa tak ada apa apanya saat aku berpikir sederhana
Cintaku dari cinta, sederhana dari sederhana, makna berbeda
Karena untuk ingatan terakhir aku hanya takut tak mampu menjawab, tak ada alasan untuk satu pertanyaan
Apa sebenarnya tujuan hidup di dunia?

Jogjakarta, 2 September 2016
Yang akan merubahku menjadi sederhana

Lampu Lampau Kota Tua



Oleh: Tsaqif Al Adzin Imanulloh


Lampu lampau kota tua
di seberang jalan kiri kanan
berdegupdegup
Menyala redup--asal hidup

lagu sedih mulai disandiwarakan
Tentang pengemis muda
yang aroma ketiaknya, mulai
lupa nama asalnya
tentang pengangguran tua
yang jejak langkahnya,
mulai lupa arah kisah telapak tangannya

Mobilmobil berplat merah itu,
Berderu
memburu
menyanyikan lagulagu pilu
dari balik tebalnya kaca mobil itu

Nona pengemis dan tuan pengangguran
Berjalan pelan
membelah punggung jalan
Mementaskan lagulagu ber-ref pilu
bahasa paling gagu
Mencoba menjaga redup lampu
Entah tinggal berapa waktu

Pada setidaknya, sebelum
mobilmobil itu krmbali esok
lusa
Lantas mencerabut saklar
dari balik ruang sana

Wonosobo, 4 September 2016

Ditemani Sang Mukmin Sejati

Oleh : Rizqi Aji Miharto

Termandikan embun dini hari kesunyian
Sang serigala menyeringai mengajari mencemari garis waktu Tahajjud
Kuandalkan pusaka enam-nyawa kebanggaan menyatu dalam kegelapan kejiwaanku
Terasa hadirnya sang Mukmin Sejati ikut berdialektik dengan geraman maut
Pembangkang peraturan sujud pada makhluk tak seharusnya
Dikenalkan pada kesengsaraan yg menyenangkan
Tepat di pagi hari setelah "ritual" tahunan
Sebagaimana manusia terpilih "menumbalkan" buah hati kepada Pencipta
Pembantaian massal,
Darah mengucur dari leher terpisah sebab belati terlebur doa-doa basi
Sejatinya jelmaan buah hati seorang khalifah
Manusia
Penikmat kesengsaraan yg menyenangkan
Puisi yg ditulis ditemani Sang Mukmin sejati; Iblis.

Tuban, 10 September 2016

Di Bawah Lutut Jessica


Oleh: Rizqi Firdaus


Ada orang pintar tapi terlihat bodoh
Membela yang salah yang seolah olah benar
Di putar balik lah sebuah fakta
Demi kepentingan semata

Kalian melontarkan nada, tapi tidak seirama
Mengagitasi yang di muliakan diatas meja hijau
Sampai membuatku terkagum

Kalian tidak seperti kopi dan gula, bercampur untuk meresap.
Kalian mencoba memisahkan keduanya
Kopi itu istimewa, sebelum kau campur dengan sianida.

September 2016

Karya Kawan Followers 2

Oleh: Ardia Kavindra


Kamu,
Getar pertama yg meruntuhkan gerbang tak berujungku mengenal hidup
Kamu,
Tetes embun pertama yg menyesatkan dahagaku dalam cinta tak bermuara
Kamu,
Matahari firdausku yg menyinari kata pertama di cakrawala asmara
Hadir dgn ketiadaan, sederhana dalam ketidakmengertian.
Gerakmu tak pasti, namun aku terus disini.
Untuk mencintaimu.

Jogjakarta, 10 September 2016

Suatu Malam, Saat Aku Ingin Sekali Mati

Oleh : Ozi


Terbaring aku,
Menerka semua
Nada nada asing
Dalam ruang yang tanpa identitas.
Berlari aku
Tersesat dan mencoba mengingat
Jalan jalan asing
Dalam ruang yang tanpa identitas.
Sedih aku
Mencari makhluk yang subtil- mereka banyak tau perihal perasaan,
Diantara
Kuburuan kuburan asing
Dalam ruang yang tanpa identitas.
Berbicara aku
Panjang lebar
Prihal masa lalu
Prihal rumah yang jauh
Prihal pertanyaan- yang kau takkan pernah dengar aku mempertanyakan ini pada manusia,
Prihal rahasia malam yang tak pernah ku mengerti
Dan tentu prihal makna. Pada
Makhluk makhluk asing
Dalam ruang yang tanpa identitas.
#
Tidak seharusnya aku.
Tidak. aku seharusnya
Menempelkan puisi ini di ruang yang tanpa identitas itu,
Memberinya identitas
Agar ruang yang tanpa identitas itu tak dimasuki apa apa.
Agar tak ada orang lagi yang memasuki ruang yang tanpa identitas itu.
Apalagi bila orang itu ingin membuat puisi di ruang yang tanpa identitas itu.
Aku mestinya mencegahnya.
Karena puisi ini ditulis didalam ruang yang tanpa identitas itu.
Dan puisi ini sungguh tak bertanggung jawab.

16 september 2016

Karya Kawan Followers



Oleh: Rananda


Semoga dan ku tahu sunyi deras isakmu tak sekejam hujan ini. Lebih tajam
dan sungguh.
Langit gemuk yang menyuapi pohon kerontang kapan saja ia mau bisa saja
menggeleparkan dan meludahinya kapan saja ia mau.
Kau boleh percaya kehidupan itu berputar dan kau boleh percaya kehidupan
itu tidak bundar.
Lukamu sedang basah, bukan?
Atau kau lebih suka lukamu itu kering?
Teteskan luka itu dengan liur malaikat, maka menciut dan ke mana ia?
Telan dan muntahkan dan telan.
Yang kau cari dan kau nikmati
tapi dendamku, diperbarui
debu dan diam
Pekanbaru, 2015

Mampus

Mampus

Oleh: Farhani Akhfa Hapsari



Dendam tak kunjung padam pada seorang pejabat negara buatannya sendiri. Ah, bukan, mantan lebih tepatnya. Mantan pejabat.

Sok berkuasa. Ngah!
Mimpi-mimpimu sudah tak layak langsung tindak, Tuan.
Kau dipimpin, sekarang.

Ruang lengang, negara tak berdaya, ekonomi tak lagi melangkah.
Terimakasih, Tuan.
Berkatmu para pejabat tak berani lagi bertindak.
Pejabat kini terikat. Terbelenggu. Mampus dimakan kau.

"Kudeta!"
Teriakmu lantang.
Tak terima kami menantang.
Lalu kembali mati dipecut waktu.

"Mati! Mati! Mati!!!"
Gerutu kami di sudut peti.


(Alambawahsadar, 24 Sept 2016)

Benarkah Nona?

Benarkah Nona?

Oleh : Vilodhia Sabda Gusti

Ingat betul kali mengenal engkau? Walau hanya lewat dunia maya
Mengalir pertanyaan-pertanyaan kecil,
Obrolan larut malam
Tentang masa depan dan candaa-candaan bahkan gombalan-gombalan  bertukar kegembiaraan, ingatkah nona? Bukan salahmu  jika kamu lupa nona
Ada yang kurang nona,
Aku yakin kamu kurang percaya nona, betulkah begitu?
Maafkan jika salah , itu hanya persepsiku saja...
aku ingin memulai yang berbeda nona, bukan itu -itu saja, begitu-begitu saja
Mari mulai sebuah perjumpaan berdua, bertukar sapa, saling menanya denganmu sangat dinanti, nona
Karena, kamu sangat berbeda nona
Akan akan sangat menghargai detik demi detik denganmu nona
Simpel saja
obrolan- obrolan kecil satu meja saja, nona
Duduk di satu atap, saling menatap
Dan bertukar senyum bahkan tertawa- tertawa
Lalu , obrolan-obrolan menyimpulkan senyum
Dan apa saja yang bisa aku ceritakan nona
Untuk apa? Agar kita  paham sedalam apa hati ini jatuh, nona
Lalu, aku sedikit lega, aku bisa melihat apakah ada sebuah perbedaan usai perjumpaan
Lebih dari Penasaranku kepadamu nona, melibatkan apa yang seharusnya dilibatkan
Aku suka padamu nona...

2 oktober 2016

Anjing Diburu Anjing

Anjing Diburu Anjing

Oleh : Khajat Purnomo

Kalau sudah dilupakan begitu saja
Dipendam dalam liang-liang tanpa nisan
Cacing-cacing, belatung-belatung, dan segala hewan sesamanya
Yang telah bekerja sebaik-baiknya
Mengurai bangkai mereka menjadi zat-zat yang menyuburkan tanah
Yang basah merah

Kalau sudah dilupakan begitu saja
Tumbuhlah kamu dari sari-sari bangkai manusia-manusia
Yang dibangkaikan secara anjing diburu
Bukankah kamu dilahirkan dari rahim ibu?

Jika memang sudah dilupakan begitu saja
Bekas luka menjadi tato di dada
Sementara di matamu aku anjing
Yang kasihan dengan anjing terburu


02 Okt 2016

Dalam Sebuah Lingkaran

Dalam Sebuah Lingkaran

oleh : Ryan Prihantoro

Tertanggal 2 Oktober 2016
Mengenai desas desus tanpa kasus
Melangkah perginya waktu tanpa menyapa
Aku hanya ingin disapamu
Cukup senyummu tiap kau ingin lewat
Aku takut yang kuibaratkan waktu adalah kereta
Ia akan terus pergi tak singgah dalam stasiun stasiun kecil penantianku
Aku hanya takut, kala tiap detikmu bergulir begitu saja
Banyak yang bersenggama, berjilat lidah pada gelombang pupus keabadian
Aku tahu hanya kau yang abadi
Menemani sejarah gulir berganti
Aku tahu kau tak dimiliki siapapun dan untuk apapun
Kau tak punya tempat tapi memakan tempat
Mengapa kau harus ada? Itu pertanyaan konyol orang bodoh
Mengapa kau tak lelah berjalan? Itu pertanyaan goblok orang konyol
Lalu apa aku bisa memilikimu, dalam genggaman jari jari kasar kuliku
Atau memilikimu dengan bermain bersamamu
Aku tahu aku bisa memilikimu dalam angan
Dalam imajinasi yang tak terbatas salah dari bermacam segi
Hanya angan
Sekali lagi hanya angan
Aku sebagai kusir dari pedatiku yaitu waktu