Wonosobo, Penyair, dan Usaha Mewadahi Kata-Kata

15.56.00 Unknown 0 Comments



"Menetas telur kata
lahirlah jiwa-jiwa.
Pada puisi yang mengudara
pada suara yang menggugah angkasa."



Sabtu, 30 Juli 2016, Wonosobo--menjadi saksi bahwa malam itu ada banyak sekali bintang-bintang bersinar di langit kota dingin. Bintang-bintang yang tidak hanyak berpendar memancarkan binarnya tetapi juga berbicara menyuarakan kata-kata. 

Jam menunjukkan pukul 18,45. Kursi-kursi kayu yang sudah tertata menghadap panggung kecil dengan empat lampu temaram menyorot mulai ramai diduduki orang-orang. Bau tanah sehabis hujan sore tadi memang masih terasa, dan hampir sebagian orang di tempat itu mengenakan tambahan penghangat; jaket, memesan kopi, dan membawa kekasihnya. Bukan pada hujan pembawa dingin yang menjadi fokus perhatiannya, tapi ada hal apa di tempat itu.

Barulah pada pukul 19.10 acara di mulai. Sebuah acara sederhana kalau dibandingkan kota-kota besar di selatan atau di barat daya. Sebuah acara yang tidak disangka akan lahir juga 'Malam Puisi Wonosobo #1' di kota itu. 



(Narahubung: Desfizar Marry
Dokumentasi; Dena Isni P & Dyla Ayu S)


Acara dimulai tanpa banyak basa-basi, sambutan ala kadarnya, dan penjelasan tema pertama mengenai Chairil Anwar sebagai sosok Penyair Pesanan Bangsa dan Negara, lalu dilanjutkan pembacaan karya dari penyair-penyair yang datang. Acara ditutup dengan foto bersama.












Pada intinya adalah bagaimana ada tempat untuk tidak menyimpan tulisanmu hanya sebatas di dalam kamar. Pada intinya adalah bagaimana wadah itu ada untuk menampung mereka-mereka yang haus dan merindukan. 


"Kau boleh berbincang,boleh juga sendirian.
Kau boleh kedinginan, tapi tidak akan."





Bukan soal siapa yang ingin, tapi soal siapa yang memulai. Bukan soal siapa yang punya mimpi, tapi soal siapa yang merealisasi. Dan komunitas Kata Bicara mungkin sudah sedekat itu.


Jogja, 9 Oktober 2016
(Menunggu malam puisi Wonosobo berikutnya)




0 komentar: