Menunggu yang (tak) Pasti

07.32.00 Unknown 0 Comments

Oleh: Nindyo Aji

Dan ketika pagi datang
Aku masih bimbang
Dimana kekasihku sekarang ?
Yang kulihat hanya bayang-bayang

Dan ketika petang tiba pun
Aku masih melamun
Tak satupun
Harapanku yang kunjung turun

Ini buang-buang waktu
Kemanakah dirimu ?
Kapan kita bertemu ?
Aku menunggu

0 komentar:

Solilokui Pagi

07.30.00 Unknown 0 Comments

Karya Egi Heryanto

*Sambil mendengar Requiem Op. 48, Gabriel Faure's

Pada suatu pagi, seseorang bertanya 
“Kapan kamu tidur?” sebab dilihat seolah tidak pernah ada waktu pejamkan sepasang matanya.
Jawaban yang absurd itu keluar dari bibirnya
“Barangkali, tidurku adalah sebenar-benarnya bangun. Dan bangunku adalah sebenar-benarnya tidur.”
Kalau begitu, ini mimpi. Sekarang atau nanti, pun tetap mimpi. 
“Tapi dengan begitu aku bisa melakukan apa saja, seperti menjadi dekat tiba-tiba.”

Petrichor, 
bau tanah basah di kota lelaki itu, mengingatkannya pada minggu lalu.
Tapi tak ia temui hal serupa yang membuatnya kelebihan senyum. Kali ini, mungkin dia sedikit cemas, dadanya sesak padahal rokok belum tandas. Ia, dan juga seseorang di keheningan sana, tak pernah tahu, pagi datang dengan cepat membawa dingin yang melindapkan kangen dan ingin.

“Ah jangan sepihak. Aku, pun tak sedang mendesak. Pagi ini biar nikotin menyeruak, asal jangan kau anggap aku besar pasak, agar rindu bisa mengombak atau seperti ornamen awan  resah 
di atas kepalaku; 
mengarak dan beranak-pinak 


(Jakarta, 29 November 2015)

0 komentar:

Bayangan di Teras Kelas

07.29.00 Unknown 0 Comments

Karya: Desfizar Merry

Tatapan itu
Itukah kamu?
Yang dulu membanjir imajinasi
Dan sekarang tidak lagi

Tubuh itu
Itukah kamu?
Yang penuh sesak berjalan di mimpi malamku
Dan sekarang tidak lagi

Aku tahu itu kamu
Yang membuatku sulit menemukan damai
Untuk berhenti merealisasi dengan benar
Tanpa dendam dan bisa menyumbang senyumku
Saat kita bertemu lagi
Tentu, aku yakin
Itulah kamu

Senyum getir ini masih ada
Ketika teman-teman bersorak
"Kamu melakukan yang benar, berhenti menunggu."
Yang aku tahu, aku berhenti sebagai bentuk kasihku
Agar kamu tidak lagi menghindari figurku yang menggentayangi harimu
di sekolah

Ya, bisa kugambarkan dengan suasana lain
Rasa itu masih ada sedikit
Sebab dua tahun bukan waktu yang sebentar
Dulu menanti apa aku ini? Kamu
Saat ini aku masih berusaha mengeluarkan seluruhnya
Agar aku bisa menjadi apa yang aku ingin
Dalam angan yang belum lama ini
Menjadi seseorang yang tak lagi mencintaimu
Jika itu masih, aku pastikan akan berbeda

Akan menjadi bentuk kasih kepada teman 
Hal ini akan berakhir untuk sesuatu yang baik
Agar pertemanan kita kembali 
Agar canda-canda basi itu memenuhi ruang obrolan kita
Lagi dan lagi

Dan kamu yang di teras
Pancing aku dengan senyummu
Agar aku meraih umpanmu
Sehingga aku tersenyum, membalasmu

Pertemanan kita akan kembali
Ini janjiku

Wonosobo, 27 November 2015

0 komentar:

Sejak Sore Itu

07.27.00 Unknown 0 Comments

Karya: Novan Dwi Saputra

Sampai kapan aku harus terus mencarimu? Detik seakan berhenti bergerak, dan derap langkahmu semakin jauh; hilang.

Aku pernah berjanji pada diriku sendiri, bahwa kau bukan lagi prioritasku. Ah! Bayang bau parfummu seakan tak pernah bisa pergi; melekat.


Apakah aku yang terlalu bodoh untuk terus mengingatmu? Bagaimana tidak? Aura badanmu saja masih sangat kuhafal.

Sejak sore itu, aku mencoba perlahan menghilangkan semua tentangmu, tubuhmu yang setidaknya pernah melekat erat dengan tubuhku, tanganmu yang seolah tak mau lepas dariku; kenanganmu.

Apa seharusnya aku mengatakan permintaan maaf padamu? Kurasa sangat tidak perlu. Pantaskah bila yang selalu teracuhkan ini mengatakan “hey aku minta maaf!” Hahaha sangat hina.

“Aku sangat berhutang 'sakit hati' kepadamu!” Kau katakan itu padaku. Apakah aku ingin kau merasakan itu juga? Sama sekali tidak. Tapi, bagaimana keadaan sekarang? Nampaknya utang yang kau sebut tadi makin menumpuk.

Aku tahu, ini keadaan yang tak diinginkan olehmu, begitupun aku. Senyum, sapa, tawamu sudah sirna. Jangankan itu, menatapku saja sudah jadi hal yang haram; bagimu.


Sudah jelas kan semuanya? Tak perlu lagi ada tanya. Sudah cukup kalimat-kalimat ini membahasakan wajahnya. Dan seperti kisah melodrama di serial tv itu; selalu ada pergi, selalu ada hati yang tanggal dan terpatahkan setiap kali kau pura-pura, menutup mata.

Di ujung sajak ini, sunyi hanya dinding
dan kita ketidakpastian, 
mungkin ketidakmampuan,
semuanya konotasi.

Cukup; selamat tinggal.

0 komentar:

Memori Embun

18.00.00 Unknown 0 Comments

Oleh : Galang S K

Huh
Desah desuh ku teringat lagi
Cerita cinta yang tak berbuah dalam indah
Melainkan berdaun perih, tetesan air dari lubang sempit ujung mata
Menggenang lagi, terkena cipratan air mata

Pernah suatu saat berjalan, di iringi lagu percintaan yang tak jelas darimama asalnya
Hanya mungkin tawaran Sang Kuasa untuk mengindahkan perjalanan dua insan
Tak lekas letih dalam perjalanan, di isi romantisme dari tawa kita sendiri
Hingga pernah tertidur lelap dalam iringan nada cinta.

Kaca mengembun
Terlintas segumpal kisah indah yang berakhir tuli
Kuasa menahan duri yang seolah berjalan di dalam otak
Justru ingin semakin lupa malah makin pekat
Ah sudah lah
Embun juga menetes di bawah kelopak mata
Aku pergi
Kau menguap

0 komentar:

Layar Tancap,Bergerimis

17.59.00 Unknown 0 Comments

Oleh : Dena Isni Pasha


November hampir selesai
Kali ini berbeda dengan dua kali November lalu
Dua kali November berhasil menciptakan rindu
Menciptakan cerita-cerita tentang sesuatu yang bisakubanggakan
dan kelak kudongengkan sebelum anakku tidur
Cerita-cerita yang diawali dengan “Dikdulu…”
Kemudian seperti di layar tancap ceritaku berputar ramai

Orang bilang aku mahir bercerita
Dan apabila benarbukankah dua kali November itu mampu jadicerita andalanku?
Sebelum November kali iniaku tidak pernah khawatir
Aku tidak pernah mencibir
Aku tidak perlu 
Namunsatu kali di dua tahun yang lalu
Satu cerita tentang jalannya kereta 
Langit tiada jingganamun merah muda
Aku tidak peduli apa yang terjadi sebelumnya
November dua tahun laluwaktu itu hanyalah untuk waktu itu
Aku tidak peduli tentang lingkaran api yang sempat terjadi
Hanya malam setelah sore di rel keretadan dua-tiga malamyang berlanjut setelahnya
Fantasi menjadi nyata di sebuah kota yang berbahaya
Dan pulanglah kembali di kota yang mereka sebut sebagaijelmaan Nirwana
Omong kosongaku kata

November berikutnya
Cerita lain di kereta yang lain, berpacu dengan melodi sederhana
Adaptasi dari sebuah cerita lama berjudul ‘Hidup ini Indah’ 
yang ditujukan untuk siapa saja yang pantas mendapatkannya
Namun beberapa memang tidak pantas,
Teruntuk orang yang ramai dan berani 
Menggertakkan “Sinema bukan segalanya
Memang bukanmemang bukan
Namun bencilah putaran roda seluloid di teater
Bencilah cerita tentang masa depan dan masa lalu
Bencilah gadis-gadis sempurna di layar tancap
Aku yakinSinema bukan sesuatu yang bisa dihindari
Adalah sebuah ketidakmungkinan untuk membencinya
Dan November kedua inimenghidupkan sinema 
Seakan-akan sinema menjadi sosok teman yang bisa selaludipercaya
Yang tidak akan berburuk sangka, yang menjaga rahasia
Dan tentunya menjadi bagian dalam keluarga
Fantasi tidak terjadinamun realita yang lebih nyatamengajarkan 
Bahwa mimpi perlu tujuandan aku memahami tujuan atasmimpi-mimpi
Yang bergeliat di kemelut awan dalam kepalakuterasa berat
Rol film untuk November keduahabis

Putaran berikutnya
Tidak ada cerita tentang rel kereta
Atau bahkan senja
Ada banyak goresan di rol film kali ini
Ada banyak harapan yang padam
Meskipun sudah berkobar bagai api abadi
Tapi harapan ini hanya api kompor LPG
Tiup kencang dan tetesi air garampadam
November kali ini
Sudah hampir selesai
Bukankah wajar aku menginginkan petualangan
Atau sekadar meminta agar mimpi mampir lagi
Aku sudah menemukan tujuan atas mimpi-mimpiku
Sudah cukup lama
Karena diantara hal-hal yang mampu aku benci,
Merindu adalah salah satunya
Ada rindu yang benar-benar tersaru setiap malam
Tetapi rindu itu meminta diabaikan
Dan sekarangaku duduk di kursi kamarku
Lagu Lemon Tree mengiringi 
seakan memang Fools Garden menciptakannya untuku

Rol film untuk November – November berikutnya,
Jangan jadi seperti November kali ini
Jadilah menyenangkandengan warna-warna selain kelabu
Petualanganhadirkanlah setidaknya satu di dalam putarannya
Berikan kisah-kisah untuk “Dikdulu…”
November, Bear Brand ku sudah kusesap
Dan hujan berhenti

 

Wonosobo, 26 November 2015

0 komentar:

(Belum) Bisa

18.22.00 Unknown 0 Comments

Oleh : Nindyo Aji

Belum ada keberanian.
Belum ada kesempatan.
Untuk mengutarakan.
Ini tentang perasaan.

Rasa ini masih sama.
Sama sekali belum berubah.
Entah bagaimana bisa.
Sulit untuk ku berkata-kata.

Aku masih disini.
Dengan secangkir kopi.
Menanti kau datang menghamipiri.
Untuk menemaniku menghabiskan sisa setengah hari ini.

0 komentar:

Mimpi Apa Aku Semalam?

18.12.00 Unknown 0 Comments



Karya: Egi Heryanto

angin menghempas nikotin pertama
sisa guyur selepas hujan
kealpaan yang menggenang
dalam bening dan nyanyian taklid
yang tak terbaca termometer

seperti takdir, katamu, seperti takdir
hambar pada rokokku 
jentik di asbak itu mengabu
“Aku membutuhkanmu,” kita sama tahu

pada tatap yang sebentar,
pada jumpa yang sederhana
dan aku yang mulai tak sabar
menanyakan dimana kau mempelajarinya?

hangat setelah jeda
dibekap sukma,
perkenalan itu
aku di belakang 
dan senyum mengambang 
yang kau hadirkan di akhir
selepas namamu kudengar
mataku terhias binar
*

aku menjelma kagum yang norak
kupikir kau tahu,
ada yang membuka pintu
tanpa memegang slot
tanpa bising
dan hangat yang kurengkuh 
tak lagi asing

mampirlah lebih lama
biar genggam pada sukma
yang merambat ke telingaku
sebagai nyanyi lagu berdansa
karena sepi yang lama, kau tahu
biar luka segera tak lagi ada 


baiklah,
lebih baik begini saja
kalau nanti aku punya waktu
dan kau tak lagi keburu
mari sering-sering saling bertatapan,
lalu kita akan tahu
siapa kelak jatuh cinta lebih dulu

Biarlah, kau tetap jadi hujan gaduh
biar aku putung terakhir yang dijentikkan lelaki di asbak itu.
kita sama-sama kealpaan
di hari kemarin.

*
Dan ketika pagi, 
aku masih akan bertanya
apakah kau terbangun dan merasakan bahwa aku merindumu? 
Atau kau hanya bangun dan tersenyum karena memimpikan dia? 
Apapun itu,
ada yang telah dicuri dari diriku
barangkali,
beginilah suaramu menyihir,
hangatmu yang tak membuat ragu
dan napas kecil di pagi harinya,
juga senyum
mungkin senyum,


Tapi, mimpi apa aku semalam?




(Jakarta, 24 November 2015)

*Seandainya waktu hendak menghadiahkan pertemuan sebentar lagi, aku ingin beberapa saat menghapal puisi yang kutulis ketika menghabiskannya, lalu biar waktu mengalah sejenak, ketika aku menjarahkan mereka pada matamu.

0 komentar:

Mengenang April

18.10.00 Unknown 0 Comments

Oleh : Anu'ma Syifaus S

"Lelaki itu berbicara, hangat sekali.
Bedanya dengan April, kemarin dia dengan
perempuan itu bertengger, berdampingan.
Kini jaraknya lebih dari satu jengkal, sulit
diraih. Perempuan itu selalu tersenyum
melihatnya bicara. Ada yang janggal dari
tanggal yang tak tersisa."

*
Tersadarlah aku
Ingatanku melayang bebas menembus
akal dan
jatuh di sini
Langit-langit ruangan
Remang yang sudah dulu ditabrak lampu
dengan gemricik air kolam
Atau gerimis jatuh di kerikil malang itu
Terdengar sendu
Ini suara gerimis apa karena minor-minor
dari
mikrofon itu?
Tidak, ini November
Kalau kembali ke April saja
Tidak akan sepayah ini

Ada tatapan mata yang kosong
Diam-diam membidik
Terselip rindu yang sebisa mungkin
sembunyi
Sebelum akhirnya pura-pura padam
Ada pula cerita-cerita janggal
pendek, terpaksa tidak selesai
Kali ini kuning lampu berlomba dengan
senja
Melihatnya saja sudah terbang
Lebih baik aku pulang saja

Ada hangat yang mengalahkan dingin hujan sekarang
dan gelap yang terang
Di bawah neon putih pinggir jalan ini
Aku belum ingin pulang, sebenarnya
Tapi pergi adalah tujuan dari datang
yang
tak terselesaikan
Biar rindu kutitipkan di bangku ini
Aku sisakan juga teh yang sudah kau
buat, katamu tadi
Aku terjebak
Ingin mundur dan duduk lagi
Sialnya aku sudah pamit

Kamu, aku dan resah
Ada yang tidak asing
Kutemukan hujan, cuma rima sisanya
dan hangat April lalu
Lewat genggam jemari yang
berat lepas
Susah berkata apalagi mata
Lebih-lebih pura-pura di bawah asap
begini
Rinduku biar ku tinggal saja
Sisanya kubawa pulang untuk bantal
nanti malam
Aku pulang sekarang

Wonosobo, 21 November 2015

0 komentar:

Untuk Lelaki Yang Berulang Tahun

00.06.00 Unknown 0 Comments


Karya: Desfizar Merry


Kamu, lelaki yang kerap kumaki
Dalam sajak tengah malamku
Dan menjadi pemeran
Dalam setiap baitku

Kamu, lelaki yang lama kukenal
Di sekolah dasar
Sejak seragam mungil terlihat sedikit kedodoran
Dan sorot mata malu-malu 
Di halaman sekolah
Tanpa tegur sapa

Terpikir olehku, 
Pernahkah aku bercakap?
Atau bergurau?
Denganmu
Tak kuingat dengan jelas

Ini berkat hujan November
Aku terperangkap dalam nostalgia
Kala menunggu  reda dan menggigil
Lalu kuingat satu hari
Tentangmu
Dan kamu mungkin tak peduli jika itu melekat dalam jiwaku

Apa yang pernah kulakukan di bawah hujan November?
Menunggu
Kamu tahu, namun tak peduli
Dan aku tahu, kamu tak peduli
Begitukah?

Hujan Novemver tahun lalu
Kamu pernah mendengar sedikit ceritaku
Bimbang, dan jantungku berlari
Dan kugenggam plastik hitam di jemariku
Kucari kamu dan kamu menghilang seperti satu debu
Dicari tak dapat

Hujan November tahun lalu
Kamu berusia tujuh belas tahun
Dan aku merasa bersalah dalam setahun
Mengapa?

Usia tujuh belas tahunmu mungkin menyiksamu
Dengan ejekan temanmu atas aku
Karena kamu tahu mengapa 
Dan kamu terlalu sudi untuk mendengarnya
Tanpa menggertakku untuk berhenti
Kamu hanya teman yang sangat baik

Usia tujuh belas tahunmu mungkin menganiayamu
Citramu berubah karena aku
Aku yang tak tahu malu
Mengagumimu dengan keterlaluanku
Dan hal itu menjadi rahasia umum
Karena aku terkhianati
Memercayakan kisahku pada seseorang
Dan kamu menjadi sasaran cibiran
Lalu kamu masih tergeming
Sulitkah menakhlukkan waktu kala itu?

Kini, November bertangis awan hujan
Kamu berubah menjadi delapan belas tahun
Namun aku tak berharta
Tak mampu menghadiahi sesuatu
Tak mampu mengejutkanmu dengan hasil belian
Hartaku tersisa kata-kata dan hatiku
Yang menghujanimu seperti November

Jika kamu berharap hadiah
Jangan paksa aku untuk mengabiskan uangku
Tak mampu lagi aku
Kamu bisa meminta
Mengakhiri derita usia tujuh belas tahunmu, mungkin?
Kamu bisa memintaku berhenti
Sebagai pemberian delapan belas tahunmu
Jika kamu mau

Untuk temanku yang tersiksa, teraniaya, dan diam saja

0 komentar:

Tak Kunjung Selesai

00.05.00 Unknown 0 Comments



Karya: Anggun Widi Nugroho

Berjam - jam
Berhari - hari
Berbulan - bulan

Selalu muncul kata mengapa
Selalu muncul kata kenapa
Selalu muncul pertanyaan yang menusuk hati

Aku rasa ini bukan soal hilang rasa
Nyatanya rasa ini masih ada
Aku rasa ini bukan soal benci
Nyatanya sampai kini aku terus mencari

Tetap saja mengapa
Tetap saja kenapa
Karena dulu mucul bahagia
Yang kita nikmati berdua
Dalam rasa aku tak pantas
Dan kau tak pantas

0 komentar:

Mengharapkan Harapan

00.02.00 Unknown 0 Comments


Karya: Puspa Rahayu

 

Dihadapan sebuah buku catatan

Aku ingin menulis semua tentang hari ini

Dimana semuanya tampak tak seperti biasa

Hambar, kacau

Pikiranku mencoba membaca rentetan peristiwa yang seharusnya masih aku ingat

Tapi entah

Sudah dikemanakan oleh gerimis sore ini

Sekilas gerimis tampak sadis mengubur ingatan sehingga tak lagi mampu muncul ke permukaan

Bukan salah gerimisnya

Salah siapa kenangan mau dihanyutkan pergi

Padahal aku disini setia memeliharanya 

Tidak banyak kalimat yang bisa diucapkan

Mungkin karena aku lupa atau memang sama sekali tak bisa

Inilah nasib gadis yang mencoba bercerita namun tak punya cerita

Mencoba mencinta namun tak punya cinta

Berharap namun tak punya harapan

Kenapa nampak sangat miris, ya.

Sudahlah, tunggu saja 

Siapa tau gerimis datang lagi.

Siapa tau ia memulangkan kenangan yang tadi sudah dihanyutkan

Atau bahkan membawa kenangan baru yang esok bisa diceritakan, dicintai dan diharapkan.

Dan akhirnya aku menjadi gadis yang punya cerita, cinta dan harapan.

(Wonosobo, 22 November 2015)

0 komentar:

Akhir Langkah Setelah Hujan - Juara 1

23.36.00 Unknown 0 Comments

Oleh : Tri Haryanto

Pagi itu
Sang fajar menyambut
Ku tersenyum
Tuk menghadapi sang waktu

Namun
Tak kuharapkan
Rombongan itu menimpaliku
Menyergapku dan menyerangku

Berantai
Tak berjeda
Dan terus menyayatku tanpa kecuali dia
Kenapa kau tiba sekarang?

Aku sedang berjuang
Berjuang di tengah perjalanan
Dan sekarang kau sergap
Tanpa belas jeda yang kau berikan

Memang seharusnya aku bisa tersenyum
Menikmati kehadiranmu layaknya fajar
Namun tidak untuk sekarang ini
Dengan kedatanganmu yang tanpa jeda kau berikan

Disana
Di depan toko itu ibuku menanti
Menantikan kehadiranku dan segenggam makanan yang ku bawa
Dia kelaparan dan tanpa makanan yang ada

Masih tetapkah tega kau menghentikanku?
Sedang disana ibuku kelaparan
Kini ku berharap padamu
Dalam naungan jeda hujan, untukku lanjutkan

Kini dadaku terasa sesak
Langkah kaki tak semudah kujalankan
Air mataku tak bisa lagi ku bendung
Ibuku telah meninggal

0 komentar:

Sapaku Untuk Hujan Sapaku Untuk Rindu - Juara 2

23.34.00 Unknown 0 Comments

Oleh : Achmad Yanatun

 

Hey Hujan,

Sedialah aku menari bersamamu,

Lupakan rindu yang begitu pilu,

Lalu!

Terpuruk, menangis sendu,

Tertawa pasti,sekejab terdiam sepi,

Hey Hujaan,

ini sapaku,
Air mataku mengalir bersama tetesan air sucimu,

Biar ia mengalir sampaikan sapa ini,

Biar ia titipkan salamku bersamamu,
Bersama lembayung hijau disudut surau itu,

Hey Hujan,
Biar aku di sini bersama dekapmu

Dekapan yang begitu hangat untukku,

Dekapan yang tak pernah ada digenggamku,

Hey Hujan,

Bersamamu aku tau dimana aku ada,

Aku nyaman,aku aman,aku tak perlu takut 

berbagi kisahku untukmu,
Hey Hujan,

Aku kagum,desau irama merdumu,

Desau itu hanyutkan ku pada pilu,

Hamburkan tentang lamunan malam,

Yang tak jelas kemana arah tujunya

Hey Hujan,

Hanya sapaku untukmu,sapa yang sama untuknya,

Berbagi sendu,berbagi rindu,berbagi pilu,

Berbagi susah,berbagi kesah,berbagi kisah,

Hujan bersama rindu dan sapa ini untuknya,

 

0 komentar:

Pahlawan Kami Bicara - Juara 3

23.32.00 Unknown 0 Comments

Oleh: Salsa Bela Febiarti

Katakan pada mereka,
Kami tak butuh tanda jasa!
merdeka yang kau dapati itu apa kau tahu? 
Beribu nyawa melayang
darah kami telanjang
deras mengalir
dari Sabang hingga Merauke

Katakan pada mereka,
Kami tidak butuh sebutan istimewa!
Biar badan kami terpanggang nyala api
semangat kami pantang berhenti.
Merdeka atau mati? Bukan pilihan lagi.

Katakan pada mereka,
agar nyawa kami tidak sia-sia
Tebuslah dengan sederhana
Singsingkan lengan bajumu wahai generasi muda!

Katakan pada mereka,
Tidak pernah ada kata terlambat menjadi sosok pahlawan
Di masamu,
di kehidupanmu
perjuangan tidak semata-mata sirna
Pertahankan! Berderilah di garis depan
perang habis-habisan atau jika tidak?
terancam sudah perbatasan

Katakan pada mereka,
Jangan buat negeri ini kecewa
karena pemuda-pemudi mereka
lenyap dalam arus globalisasi
dan melupakan hal lain,
 bahwa musuh mereka 
bukan lagi penjajah asing,
tapi dari dalam negeri.
yang bersembunyi,
seolah seperti kawan sendiri.

0 komentar:

Menemukan Sesuatu yang tak Ada

02.19.00 Unknown 0 Comments



Karya: Egi Heryanto

:Untuk seseorang yang mengingatkan saya pada secangkir kintamani.


“Gi, aku mau kopinya,” perempuan itu memberi jeda
“tanpa gula.” lanjutnya,
dan seperti pernah ditulis seorang sufi, dalam bukunya, aku pernah membaca,
tentang tokoh 
yang tidak suka pemanis
untuk hal-hal yang ditakdirkan pahit. 

Apalah kita yang memaksa untuk tetap sama, 
sedang pergi adalah 
sebenar-benarnya nyata.
Paling tidak, itulah yang sering 
kau ucapkan 4 masa silam,
ketika daun masih segan
disangga ranting—yang nyaris patah—atau hampir patah.

Kembali ke prolog, dan kau
yang hadir selepas hujan di siang hari
atau sebuah pesan acuh, pada kesempatan lain.
Memaksa aku mengarang tesis,
sedang abjad ini, 
tak pernah jadi kesimpulan atas apa yang sempat kau tanyakan,
“Setelah ini, kemana kau akan singgah?”
aku belum menjawab, dan barangkali,
tak akan pernah menjawab.

Di mataku telah tumbuh anak laki-laki.
Tubuhnya tinggi meski tak pernah mendapat ASI. 
Ia suka bermain kelereng ketika malam datang,
dan baru akan tidur setelah jarum jam bungkuk.

Di mataku telah tumbuh anak laki-laki.
Ia suka bermain kelereng ketika malam datang. 
Ia nakal dan senang melempari kepalaku dengan banyak kelereng,
besar namun 
tidak asing.

Di matamu telah lahir sebuah televisi,
dua puluh satu inci,
cukup jelas untuk
melihatku jadi ayah anak-anakmu,
yang kita namai sebagai rindu.

Di matamu telah lahir sebuah televisi,
dua puluh satu inci,
cukup besar untuk 
menontonku dalam berita;
seorang laki-laki gila
mencari sesuatu yang tak ada.

(Jakarta, genap 4 masa kepergianmu, 11 November 2015)



0 komentar:

Menulis Blues di Suratmu

02.14.00 Unknown 0 Comments

Oleh: Egi Haryanto

– Untuk Corine,
 


*Sambil mendengar Almost Blues, Chet Baker

Plot 36, No 1. 

Kartu pos itu kembali ditempelkan. Setelah lama dibiarkan sendiri di atas meja, di pisah jauh dari surat yang berisi kesedihan seseorang setelah kepergian, setelah kekasihnya berhasil bahagia. Tapi surat itu, juga perangko seharga lima ribu sudah dipertemukan. Tinggal menunggu tukang pos membawa tepat di rumah seseorang dan kabar yang membuatnya tersenyum dengan alasan cukup masuk akal, pada pagi hari. 


15:26 

Aku tahu ada yang salah dari caraku menyikapi perpisahan ini. Waktu yang lapuk, pertanyaan di dinding dan tahun-tahun merengkuh November ketiga kalinya, masih saja tidak memberi jawab. Frasa Nomina, seseorang pernah menangis di keramaian dan tidak ada satupun dari mereka yang merasa terganggu. Tak satupun peduli.

Sepertinya, salah satu dari kita memang sudah seharusnya berhenti untuk saling meyakinkan. Aku berhenti meyakinkan diri sendiri, atau barangkali kau, dengan caramu meyakinkan aku, membuatnya seolah-olah masih punya punya besar kesempatan.

Aku terlalu lemah,
dan sebelum permainan ini dimulai
kau tahu,
aku tak pernah mengubah langkah.

Sudah jelas kau tahu aku takut menduga. Aku tidak ingin mengira-ngira.
Kau acuhkan lagi pesan ini, pun? Tak apa. Berapa banyak pesan-pesanku yang berakhir di tempat sampah, dibiarkan bercampur dengan sisa-sisa makanan, dan pada akhirnya dibawa ke pembuangan. Berkumpul menjadi semakin besar, terus membesar hingga cukup lelah salah satu dari kita membayangkannya. Lalu berhenti, dan dapat kau saksikan, pesan-pesan itu sekarang tidak lebih sebagai diatesis. Atau kau mau menguraikannya sebagai etika Hegel? Dan semua mendadak wajar, masuk akal dan cukup universal? 

Aku tak tak tahu, sekarang kau yang tentukan.
Semenjak aku mengerti wujud
nyatamu ilalang,
tinggi menjulang
dari mata kaki
ke pelupuk mata; Kekasih:

“Tapi tak berjiwa?”
“Iya, memang,” seseorang bergumam
“tidak semua rasa bisa kau telisik menjadi  curiga, sekuat apapun kau mencoba, kosong adalah sebenar-benarnya isi.”
“Tapi aku takut ditinggalkan.” Bibirmu tertutup rapat. Malam itu aku tidak pernah mengira kalau hatimu yang menjawab. Di lorong gelap itu, seseorang lain tertawa tanpa pernah memperlihatkan muka.
“Yang datang jangan kau paksa untuk terus singgah.” kecuali kau bangun rumah, pada suatu waktu, pada sebuah tempat yang cukup layak dan punya alasan-alasan kuat agar nanti jika ada yang menanyakannya kau tak bingung menjawabnya. 

“Kau pilih mana? Jadi milikku atau milik kesakitanku?”

Pretensius, kau bilang. 
Aku masih mendengarkan,
lewat tenor yang di bawa hujan.
Paduan suara yang saling sahut, 
di teater—dengan kau sebagai alto—dengan aku sebagai sopran 
'Ritmis! Ritmis!' perginya sulit ditebak.

“Di bagian mana?” kau menanyakan itu.
“Matamu.” lagi-lagi aku takut salah jawab.
“Memangnya ada apa?” 
“Ada hujan, ada anak kecil, ada sakit yang tidak bisa dibahasakan kata-kata.”
“Jangan becanda!” pelukanmu menghampir sendu; pundakku basah airmatamu.

16:31

Sore ini hujan, Kekasih.
Hujan yang fiktif dan percakapan imajiner yang tidak pernah aku tahu kapan berakhirnya. Semoga kau masih bisa, memakluminya. 

(Kebayoran Baru, 19 Oktober 2015)




0 komentar:

Kota Ku Atau Kota Mu

12.30.00 Unknown 0 Comments


Karya: Anggun Widi Nugroho

Mereka nyaman
Nyaman dengan semua kisah indahnya
Atau malah hidup dalam kemunafikan
Tak mau rumah kecilnya terkenang
Bagai tampungan kisah pilu.

Sementara aku sibuk memilah-milah
Antara kisah indah dan timbunan kisah pilu,
Disini di Kota mu.

Mereka senang
Senang dengan rumah kecilnya
Dimana masa kecil dan masa kini hanya terpisah waktu
Kapan pun mereka mau,
Ayunan itu siap jadi perantara mencumbu
Mencumbu langit yang mereka lihat tak pernah sendu.

Semantara aku
Cuma merindu tapi ragu untuk kembali mencumbu kota ku
Yang dulu bagai ratu, bagitulah singkatku
Mungkin karena terlalu asik bergurau
Aku tak tau kalau itu kardus para rantau
Pendatang bilang kota ku bagai ranjau

Beranjaknya waktu
Ku dengar cerita tentang kota itu
Ku dengar tak lagi cocok untuk ku yang merindukan ratu.
Tangerang kini atau bahkan sejak dulu, Metropolitan.
Tapi dahulu itu kota ku.

Kalau kau datang disambut kisah pilu lalu berkata "ini ranjau"
Aku tak mau terburu buru untuk berkata "ini juga ranjau"
Aku mau bersekutu dulu dengan mu
Cari tau cara membakar kisah pilu di Kota mu.
Tak masalah kalau akhirnya aku harus berlalu
Dan gagal berkata "Wonosono juga kota ku".

17/11/15

0 komentar:

Kutipan Hujan dari Gusti

16.29.00 Unknown 0 Comments

Ini lucu,
Tapi aku rindu. 
Aku ingin seperti dulu.
Hujan hujanan sampai lupa waktu.
Berlari,menyanyi,menari 
Sesampainya di rumah kena marah ibu.

9 November 15'

0 komentar:

Ah,Sial!

16.28.00 Unknown 0 Comments

Oleh: Vilodhia Gusti

Siang itu,
Tak begitu berisik hanya rintik-rintik
Sembari menikmati kopi,aku bersilah di pangkuan kursi.
Oh nikmatnya.
Terbayang saat itu,
Menunggu hujan reda di bawah ternit tua sambil memegang erat tangannya, hangat sekali.
Selang beperapa menit kusapu wajahku.
Ternyata aku larut dalam khayalan karena merdunya hujan. 
Dan ternyata; hanya genggaman gelas perlahan miring lalu tumpah di atas celana putihku dengan kopi hitamnya.
Sialan! 

9 November 15'

0 komentar:

Tanpa Judul

19.21.00 Unknown 0 Comments



Oleh Galang Surya K 

Asap rokok mulai pekat
Sinar cahaya lampu tertutupi lekatnya kukus asap Rokok
Rintik air hujan terjatuh membasahi kaca mobil

Melesat dengan cepat
Mobil butut, di jalan Pahlawan A.Yani
Dengan asap hitam nya
Warna coklat lusuh , disertai lampu tak begitu terang
Merk Corolla lama , disebut bangkai bertenaga
Dengan suara gahar yang bising

Tiap tetes air hujan terdengar
Sembari membawa kenangan yang telah tersebar
Berceceran, dan di injak dengan cerita-cerita busuk hingga terbentuk air mata

Di dalam mobil
Masih saja pekat kukus asap rokok
Pikiran yang mulai tak stabil
Kali ini dengan Kopi Hitam dicampuri aroma Susu

Rintik hujan bukan reda malah deras
Dipandangi sudut kota dengan lampu pijar oranye
Hujan kini datang membawa kenangan keras

Dibalik basah 
Aku teringat sebuah kisah

Pernah aku bersamamu
Duduk mengingau termangu
Melihat manusia-manusia resah
Karena turun nya air mata langit

Tertawa hingga terasa hangat
Sambil meminum susu, tanpa ada gelap
Putih senyap
Dan hingga pada akhirnya menari di bawah awan gelap yang datang tanpa menyapa
Dan disitu pula aku, kehilangan tawa lagi, menangis lagi, menertawakan diri sendiri
Ditinggal penuh sepi menghujat Tuhan
Hingga pada akhirnya, sekarang hujan terasa lebih menusuk
Hujan mata pisau

0 komentar:

Tentang Hujan Kali Ini

16.08.00 Unknown 0 Comments

Karya: Anuma

Gemuruh hujan menyerua
Jatuh, banyak sekali
Sementara jariku terlalu kaku
Meraba apapun itu
Hari ini tanggal empat
Bulan kesebelas
Artinya, harusnya sudah tujuh

Luruh, aku basah
Ditamparnya bertubi
Dingin 
Dibawanya aku
Berteduh

Segar mengangkasa
Harusnya ini jingga
Tapi tak apa
Barangkali hujan pertanda
Aku butuh air
Haus, terlalu mengejar
Sementara hujan terus mengalir
Menjamah tubuhku
Aku beku di sini

Angin mengendus wajahku
Lalu lalang suara mesin menderu
Aku sayu, merasa sendu
Barangkali hujan benar
Aku merindu

Hujan semakin basah
Aku mendesah
Di sini tanpa arah
Jadi resah
Aku ingin pulang sudah
ke rumah

Sialnya, hujan menjebak
Dipaksanya aku menahan sesak
Baik, ini bagus
Untuk pembuat arus
Aku berani lurus

Tidak juga mereda
Aku pilih melaju
Tak apa aku rindu
Biar air mata membungkam
Di bawah rintik
Yang semakin membuatku beku
Menunggu

0 komentar:

Menjelang Aku Pada Kotamu

17.17.00 Unknown 0 Comments



Oleh: Egi Heryanto

Beginilah aku, 
duduk di kursi belakang bus 
jurusan Lebak Bulus-Bandung
membaca November sebagai getir takdir
tanpa menghisap rokok
tanpa kaleng-kaleng beer
tanpa apa-apa.

Beginilah aku, 
bajingan khilaf dalam sebuah drama kelas melati atau opera sabun
yang terlalu nekad memutar arah
padahal tahu, sebentar lagi akan tersungkur, pasrah
tapi bus melaju bagai metronom yang stabil
melewati Pasteur, entah terus ke Pasir Koja
atau mendadak berhenti.
di bagian ini, 
aku tiba-tiba lupa.

Beginilah aku,
setelah ditampar realitas
yang lantang menggaungkan konsistensi
sebab laki-laki ini begitu tidak percaya diri.

Beginilah aku,
menjejak aspal terminal dengan kaki gemetar
juga sapaan ramah para supir taksi—dan bunyi perut—dan terik—dan ingatan yang tercekik.

Selepas tanda pada bahasa sederhana
telepon genggam seolah mati
atau barangkali tidak dibutuhkan lagi.
Hanya alamat dan bising suara angkot
membawa mata pada tulisan kecil disambut senyum
'Burangrang!' 
disitu tempatmu, batinku seketika.

Beginilah aku, 
bersama tiga, empat putaran 
jarum panjang arloji, 
daya ponsel yang tinggal menunggu pemakamannya,
dan pesan singkat 
“aku sudah di depan”
menjadi kesibukan lain yang kutafsirkan,
sebab, aku begitu terhibur,
dengan caramu,
membuatku menunggu.

Beginilah aku, 
setelah hujan turun gantikan terik,
pelan, 
membunuh ramai hadirkan sunyi.

Beginilah aku,
masih duduk di kursi yang sama,
sejurus hadapkan mata pada seberang jalan,
dengan banyak wajah mulai  
menghias gerbang sekolah.
Mereka tampak tergesa-gesa, 
barangkali karena hujan, yang belum sepenuhnya reda. 

Kutemukan kau pada ramai yang kembali surut.
mata kita saling tatap,
tapi tak pernah satupun langkah menghampir.
Kau di seberang
dan aku di kursi yang masih sama.
Begitulah kita.

senyum dan lambaian tangan,
tidak pernah habis jadi oleh-oleh yang kauberikan
sebelum mobil itu menjemput pulang, 
berlalu dalam deru juga debar dada.
Membawamu hilang,
meninggalkan aku dengan gumam
“Paling tidak, dia baik-baik saja”
tidak berubah, dan masih sama
seperti saat dulu aku mengenalnya.
Gerimis samarkan tangis; aku tertawa.


Beginilah aku, 
duduk di kursi belakang bus arah Jakarta
membaca November
sebagai damai selepas pergolakkan.
Tanpa rokok,
tanpa kaleng-kaleng beer.
Sebab,
hanya ada senyum dan tangan melambai dalam bingkisan rapi 
tersimpan hati-hati.

Sejak hari itu Bandung adalah hal tabu, atau pertanyaan rumit pada kolom teka teki silang sebuah koran.
Sejak hari itu ada yang tertinggal di kotamu.
Adalah aku, 
yang sengaja menjatuhkan diri
sebelum bus benar-benar berhenti.
agar bisa menyebutmu sebagai singgah
senyaman rumah, sekali lagi.
tempat aku kembali. 



(19:21, Terminal Lebak Bulus, 9 November 2013)






0 komentar:

Di Kata Akhir Sebuah Ungkapan

17.15.00 Unknown 0 Comments



Oleh: Egi Heryanto

Kuberi tahu padamu yang tidak tuntas dulu
menahan bibir ucapkan kata, habislah waktu.
Bersama noktah-noktah ganjil
seperti c minor pada lagu anak-anak
“Benarkah ini hari Sabtu?” tandas bisikmu di telingaku
ini bukan Sabat, tidak ada Yahudi sedang melakukan perayaan—jawabku
tapi mega lepas dan mendung tampak
kilau pijar, remah tanah dan segala yang basah
aku tetap harus bercerita
kuberi tahu padamu,
jangan pergi dulu.

Pelan kubaca, dalam desir, gigil, sayup matamu 
redup dengar segala cecar
yang kemudian hadirkan sesal—angin—pada koma atau kemungkinan lain
yang sedang kau tunggu lanjutannya.
Aku menutup kata terakhir dengan 
“Maaf”
Kau senyum kecil sebentar, mengganti topi kita semula
“Memangnya ini baik?” kau selalu banyak bertanya.
“Iya, untuk beberapa sebab.” aku memantik api, membakar rokok, dan menunggu mata kita bertatapan satu kali lagi.

Pelan-pelan kita lenyap, 
dalam gelap lama cengkramkan bulan, semakin sulit terlihat
Malam, itu rahasia tinggal konotasi
dan bulan, yang semakin habis dilalap
murka perempuan kecewa
sebab ceritanya tidak pernah seindah metamor
Tidak pernah, memang.
Oh, malam!

(Jakarta, 5 November 2015)




0 komentar:

Penolak Dan Pengharap

23.21.00 Unknown 0 Comments

Oleh: Anggun Widi N


Awalnya memang kau tak menolak
bahkan kita pernah mencapai puncak.
Sampai akhirnya
waktu tak berikan lagi kesempatan kedua
bukan untuk mu, melainkan untuk ku.
Kau tolak kesempatan ku
singkat mu, aku harus pergi.

Tapi tunggu dulu.
Kamu bilang
yang sudah ditolak lebih baik pergi
Lalu bagaimana dengan mu
Yang sedang berharap ini, 
Tak pergi juga?
Bukan kah kita sama?
Ini hanya seperti bulan merindukan bintang
bintang merindukan matahari.

Sebentar,
Jangan dulu berlalu.
Dulu kamu bilang jangan habiskan waktu
Hanya untuk mu si hati batu.
Lalu, lalu kamu yang sedang berharap ini tak menghabiskan waktu?

Malam ini belum terlalu larut,
Coba sebentar dengar aku.
Kalau matamu melihat
Aku tetap disini, memang.
Kamu benar, Tapi bukan lagi untuk hal yang dulu.
Dan kamu yang dulu jumawa bagai ratu seribu tuan,
Selamat jadi pengharap.

0 komentar:

Hati/Otak

21.45.00 Unknown 0 Comments

Karya: Akbar Daffa Raharja

Hei,aku cinta kamu.
Maaf.tidak,aku bergurau
Hei,aku ingin kita lebih jauh.
Maaf,maksudku aku ingin kamu.
oups,bukan bukan,aku tidak ingin kamu. Tidak ingin kamu pergi.

Jangan dulu tersipu,aku ini hanya melantur. 
Tapi biasanya lanturanku ini dari hati.
Oh tidak,untuk ini.
Atau mungkin iya,aku tak tau.

Atau aku jatuh cinta!
Atau aku tlah dibutakannya?
Tapi aku..
Maaf,jangan maaf. 
Apakah aku jatuh cinta kepadamu?

Serba salah.
Tak tau arah,
Ah sudah.
Rasa ini hanya sementara.
Tapi aku takut, takut untuk kehilangan rasa itu. 
Ah sudah maafkan aku.
Hati dan otakku sedang beradu. 
Beradu untuk? 
Untukmu.

Ini tai kucing.
Iya tai kucing persia.
Ini bullshit 
Iya ini bullshit,cinta.


0 komentar:

Hallo,Lolita.

21.37.00 Unknown 0 Comments

Karya : Akbar Daffa Raharja

Sore sudah akan habis.
Kutenggak sekali lagi cola.
Kubakar mild satu batang lagi.
Tapi,Belum terbakar habis,
Lolita,sudah datang dengan senyum manis.
Rokok,seketika mati
Aduh,aku juga.
Mati. Mati kutu,maaf aku terlalu kaku

Kenapa? Kenapa matamu begitu indah?
Kenapa? Kenapa Gincu merah,merekah renyah?
Kenapa? Kenapa hati ini gusar,tapi ingin tetap singgah? 
Ah tidak. Aku lemah.
Aduh tidak. Aku kalah.

0 komentar:

Senja Sepanjang Jalan Hargopeni

21.36.00 Unknown 0 Comments

Karya : Akbar Daffa Raharja

Jangan dulu bosan dengan senja,kopi,dan dia. Mereka alasan aku seperti ini.

Jangan sesap dulu kopimu
Kopimu tidak akan dingin,karena senja masih hangat.
Jangan sesap dulu kopimu
Kalau habis,tidak ada lagi yang menemanimu. 

Mungkin hanya senja yang menemanimu,
Perihal senja datang tak lama,tapi senja begitu syahdu.
Syahdu untuk jiwa-jiwa terbelenggu seperti(ku)/(mu)

0 komentar:

Telah Datangnya Hujan yang Ditunggu.

21.35.00 Unknown 0 Comments

Karya: Akbar Daffa Raharja

Tuhan memang begitu mudah membalikan tangan-Nya
Dibasahinya jiwa jiwa kekeringan oleh hujan yang ditunggu.
Basahlah jiwa-jiwa kering itu.
Aroma hujan membius.
Rintik hujan berdenting bagus.
Ah,hujan memang begini.

Hujan pertama semenjak hujan yang terakhir.
Begitu lama,hingga aku lupa kapan yang terakhir.
Tapi aku masih ingat apa yang terjadi pada hujan lalu. Tetap begini.

Begitu indah ketika sinar senja beradu dengan rintik hujan.
Begitu indah ketika aku begitu dimanja oleh rasanya kesepian.
Aduh. Aku malu. 

Hujan memang dingin. 
Tanganku demikian. 
Menggenggam erat kering kenangan.
Sebelum kubiarkan basah lagi dan hanyut oleh sepi.
Biarpun aku tau itu sepi,aku tetap tak bisa benci.

Aku akan berlari mencari kawan.
Aku akan berlari mencari awan.
Dan akan kuceritakan kepadanya tentang hujan. 
Dan akan kumanjakanya dirinya dengan cinta-cinta bualan.

0 komentar:

Surat Malam Untuk yang Terlambat Membaca Pertanda

16.26.00 Unknown 0 Comments



Oleh: Egi Heryanto

Ini pagi, lacur debar dada sertakan sunyi menjelang tidur yang lelap.
Berhimpit-himpit segala luka 
dalam desir darah 
deras mengalir 
ke muara hati, Kekasih.

Padam lampu dan bunyi arloji pukul dua belas menangkap mata
dalam bias yang terlalu sunyi untuk menjadi tafsir
atas segala alasan kau tidak kembali.

Rebah di bawah bintang bertabur cerita masa depan yang sering keluar dari bibir tipismu tanpa gincu merah muda dan aku selalu senang jadi pendengar tanpa bisa banyak menanggapinya. 

Aku kehabisan kata-kata setelah senyum itu kau hadirkan menjelang pulang. Senyum yang memperlihatkan matamu semakin redup dihimpit kantuk. Yang baru bisa aku maknai setelah kehilangan panjang berlarut lelah sebagai senyum tulus penuh harap agar aku tidak pergi. Senyum yang tidak pernah bosan aku lihat meski sekarang hanya bisa mengingatnya saja. 

Lalu sesal menyeruak, 
mengudara
tidak meninggalkan apa-apa 
selain aku 
dan lebih banyak perihal tentang kau
juga air mata
dalam doa yang tidak pernah selesai
kita aminkan, Kekasih.



Surat Malam Untuk yang Terlambat Membaca Pertanda

Oleh: Egi Heryanto

Ini pagi, lacur debar dada sertakan sunyi menjelang tidur yang lelap.
Berhimpit-himpit segala luka 
dalam desir darah 
deras mengalir 
ke muara hati, Kekasih.

Padam lampu dan bunyi arloji pukul dua belas menangkap mata
dalam bias yang terlalu sunyi untuk menjadi tafsir
atas segala alasan kau tidak kembali.

Rebah di bawah bintang bertabur cerita masa depan yang sering keluar dari bibir tipismu tanpa gincu merah muda dan aku selalu senang jadi pendengar tanpa bisa banyak menanggapinya. 

Aku kehabisan kata-kata setelah senyum itu kau hadirkan menjelang pulang. Senyum yang memperlihatkan matamu semakin redup dihimpit kantuk. Yang baru bisa aku maknai setelah kehilangan panjang berlarut lelah sebagai senyum tulus penuh harap agar aku tidak pergi. Senyum yang tidak pernah bosan aku lihat meski sekarang hanya bisa mengingatnya saja. 

Lalu sesal menyeruak, 
mengudara
tidak meninggalkan apa-apa 
selain aku 
dan lebih banyak perihal tentang kau
juga air mata
dalam doa yang tidak pernah selesai
kita aminkan, Kekasih.









(Cipete, 2 November 2015)





(Cipete, 2 November 2015)

0 komentar: