Hanya Kamu dan Fog Machine

17.27.00 Unknown 0 Comments

Oleh: Kaka Cahea 

Sisa dari penuh dan aku masih menunggu.
Walau kau sudah berucap untuk tak sampai.
Barangkali, pikirku.

Masih deras dan aku masih mencari.
Kau pamit tidak hadir tadi.
Siapa tau, pikirku.

Apa kamu tak leleh? Apa kamu tak kepanasan?
Fog machine tahan panas, tapi apa kamu tak apa?
Terus terusan dikepalaku yang demam.

0 komentar:

Tetap Dingin

17.26.00 Unknown 0 Comments

Oleh : Anu'ma Syifaus

Hening
Semua terduduk pulas dengan dialog mereka
masing-masing
Jadilah puan sebatang di pojokkan
Dengan bangku yang sama
mungkin

Sepi
Di sini ramai, sebenarnya
Tuan begitu dingin
Setelah hilang delapan puluh empat jam
Dan hanya kutemukan kepingan rindu
Lewat hujan
Sama dinginnya

Kalau Tuan memang ingin
Baik, tak apa
Biar tunggu pelangi pecah segala sunyi
Biar rindu kutata apik dahulu
Sebelum Tuan kembali tersenyum manis
Tanpa kekangan paksaan
dari Tuan sendiri

Wonosobo, 18 Des 2015

0 komentar:

Surat Malam: Terimakasih Malam,

17.24.00 Unknown 0 Comments


Oleh : Farhani Akhfa
Disini masih terasa dingin, sepertinya air hujan tadi masuk celah pori-poriku. Adakah kamu kedinginan juga? Hanya ingin tahu.
Terimakasih, sore hari ini kamu membunuh sepiku. Sebenarnya bimbang, haruskah kamu datang atau tidak. Sebab, hujan sore ini mengerikan. Petir menggelegar di sana-sini. Pulang pun aku tak berani. Aku ingin kamu tidak datang, tapi aku kesepian. Bingung membicarakan apa kepada adik kelasku, tadi. Aku ingin kamu tidak datang, karena hujan lebat dan sangat dingin.
Hari ini kamu seperti pahlawanku. Ingin seperti apa? Spiderman? Aku lebih terkesan kamu datang tadi. Mungkin nama kamu cocok untuk menjadi julukkan pahlawan yang datang saat hujan. Seharusnya banyak kawan yang datang, jadi ada kejelasan diskusi tadi. Maaf membuang waktumu untuk mengobrol yang kurang jelas. Aku kesepian, kamu tahu kan? Syukurlah kamu datang.
Sebenarnya aku merasa aneh hari ini. Biasanya tidak segugup itu aku berbicara. Sungguh, baru kali ini aku berbicara seolah berhadapan dengan sosok yang belum pernah aku bayangkan. Bukan mengerikan, hanya susah menjelaskan.
Acara tadi, bukan diskusi mungkin. Lebih seperti obrolan yang serius. Tapi aku menikmati.
Dan masih ingat lagi, kamu menghangatkan tubuhmu dengan rokok. Meski aku yakin kamu ingin menggigil dengan celana basahmu. Tapi kamu berbagi kehangatan. Mungkin asap rokokmu. Terimakasih sudah banyak meramaikan sepiku, dan berbagi cerita. Mungkin esok bisa lebih banyak waktu seperti ini. Tidak hanya saat hujan dan kesepian.
Selamat malam, semoga tidak sakit.

0 komentar:

Senja di Sumbawa

04.31.00 Unknown 0 Comments

Karya: Rizki Pramudya Sari

Bagai lantunan nada
Merdu menghantam telinga
Ombak bergelut memecah karang
Semilir angin menerbangkan dedaunan
Menghapus jejak yang pernah ada
Pohon kelapa tegar menahan tubuhnya

Bulat sempurna kekuningan
Membentuk bayang di atas laut tenang
Mewarnai sang langit bergradasi
Terlihat burung burung berterbangan
Lidah pantai yang menjilat jilat pasir putih

Para bocah berlari kegirangan
Lepas tanpa batas tanpa beban
Sembari bergurau kesana kemari
Sepasang remaja melambungkan asmara
Buah kata romansa diantaranya
Begitu manis kupandangi

Meski ilmu mereka tak sepantasnya didapat
Meski keadaan mereka tak selayaknya
Terpencil jauh dari peradaban
Terisolasi dari bantuan tangan tangan mulia
Namun semua tenggelam tanpa bekas pilu
Ketika senja di Sumbawa mulai bicara

0 komentar:

Simpan Saja Dulu (Negasi Kota 40)

04.30.00 Unknown 0 Comments


Karya: Egi Heryanto

“Maaf ya,” mendung di luar jendela menghantarkan pesannya.
“apapun itu.” lanjutnya.
“Kenapa?” seseorang di sudut lain sebuah meja merasa bingung.
“Aku... mau minta maaf aja.”  jawabnya tak yakin.
“He he he ya udah.” perempuan itu tertawa, mungkin, pura-pura tertawa.
“Kalau ga kepakai sekarang, simpen dulu aja, bareng jitaknya. Siapa tahu besok kepake.” dia mencoba tertawa, membiarkan suasana ikut mencair.
“Besok kalau ketemu lagi, kamu duduk di sebelahku ya!” dia masih tidak putus asa membuat percakapan ini terasa menarik.
“Ngga ketemu lagi, sepertinya, dalam waktu dekat.” perempuan itu akhirnya terpancing membuka suara.
“Aku jadi canggung.” laki-laki itu menyerah.
“Aku juga kalau gitu,” 
“malam ini kita sudahi saja, bagaimana?” kalimat tanya perempuan itu lebih nyaring dari suara jam weker pada tengah malam yang hening.
“Kalau kamu mau mensudahi, aku bisa apa?”  laki-laki itu bergumam pasrah.

Percakapan berakhir. Di luar langit masih murung. Tinggal sisa-sisa embun pada kaca dan lampu jalan yang sebentar hidup sebentar mati. Wonosobo mengudara bersama perasaan yang lama tak tumbuh, di hati laki-laki itu.



0 komentar:

Saat Bahagia (Bagian:Cinta)

04.28.00 Unknown 0 Comments

Oleh : Akbar Daffa Raharja

Aku masih senyam senyum sendiri
Seperti rasa ini yang tumbuh sendiri
Seperti kau yang menghiasi dinding notifikasi.
Lalu aku takut berkata.
Lalu aku takut berkata cinta.
Lalu aku menikmatinya.

Getaran tak jelas dari dalam dada.
Tak sengaja kuketuk wajahmu dilayar.
Ouch, apa ini? Kok semakin berdebar.

Kubaringkan tubuhku diranjang,menatap langit langit.
Aku terseyum lagi.
Hei mengapa kamu dilangit-langit?
Aku tertawa sendiri.
Hei ini tidak nyata,ini ilusi.
Hei ini nyata,aku tidak sedang deperesi.

Lalu aku menjadi gila karena dia.
Hei,Aku Jatuh Cinta!
Seru Rasannya!

0 komentar:

Takut Ketinggian

04.26.00 Unknown 0 Comments

Karya: Egi H

Jam dinding menabrak tembok
Muncul darah berwarna hijau
Dan televisi tiba-tiba menyala
tanpa pernah kutekan remotenya

Sudah jam 2 pagi,
sudah banyak teman di sini
Mereka beragam
dan berasal dari tempat yang berbeda
ada yang jauh-jauh datang dari andromeda hanya untuk menemani saya
Badannya manusia, kepalanya rubah
dengan dasi dan segala atribut vintage
dia manusia-rubah yang baik, selalu tertawa. Sama seperti saya.

Belum menceritakan yang lain, tiap menit seolah kamar jadi penuh
tidak terhitung lagi
Mereka datang dari segala penjuru
ada yang tiba-tiba muncul dari tangan
ada yang datang dari selangkangan
Variatif, heterogen dan menyangkut keberagaman

Belum juga tuntas,
Sudah diseret ke alam tanpa batas
di suruh mereka lepas
Selepas-lepasnya

sesaat merasa merdeka dan bebas
ketawa, senyum-seyum puas
tapi seketika jadi cemas
badan melemas
seringan kapas


Di alam manapun,
pikiran tidak pernah habis terkuras
"Datang ke sini, lekas!"
Sempat tidak bernafas
perut juga mulas
"Tersiksa nahas...."


Jam 3 pagi
Semakin tidak waras
Semakin was-was
Debar daba semakin keras
takut pecah dan terhempas

Terbesit untuk ikhlas
Menyerah dan landas
makin kacau karena tertindas
Juga semua dirampas


Kalau sudah sadar
Bangunkan saya
Atau saya bangunkan anda
Atau kita sama-sama tidak bangun

Dari sini saya bisa melihat anda
Bisa dengan leluasa menciumi anda
memeluk anda
walau berlaku sementara
Barang satu malam
harga yang sepadan

Kalau saya nanti lupa
Tidak bisa membedakan yang imaji
dengan nyata
Tolong sadarkan
perihal disorientasi waktu
Tampar saja kalau perlu

Ah lucu, sudah jam empat pagi
mata kemana-mana
pikiran apalagi
Saya sudah bikin 5 puisi
semuanya juga lucu-lucu
Untuk dibaca besok pagi
Sambil ngopi
dan tanpa halusinsi
yang makin kesini
makin tidak ada bedanya
.

(Dini Hari Saya, 9 Desember 2015)



0 komentar:

Biarkan Saja

04.25.00 Unknown 0 Comments

Oleh : Anggun Widi

Bukan, bukan kenangan yang coba ku larutkan disini
Hanya rasa yang ku tuang banyak - banyak, berharap agar cepat habis.
Ku genggam erat tanganmu
coba lebih dekat, coba kudekap.
Lalu dengan bibirku ku kulum tepi - tepi bibirmu; cangkir kopi.

Dan hingga empat cangkir kopi, rasa ini masih ada. Lalu cangkir - cangkir yang lain sudah berjejer menunggu serasa memaksa untuk dihabiskan, padahal aku sudah tak kuasa. Biar, biar tetap ada.

0 komentar:

Sederhana, Karena Pembenaran.

04.24.00 Unknown 0 Comments

Oleh : Kaka Cahea Caradhiki

Riuh, ramai lalu padam.
Kau adalah alasan, kenapa tamaram.
Dmaj7 dan menjadi seram.
Sekali lagi terbenam.

Hujan, gerimis lalu deras.
Saat aku menjadi keras.
Melantang meminta kebenaran.
Lalu terdiam saat ingat klasiknya cinta adalah pembenaran.

Ada, tiada lalu kosong.
Renyah tawa, bilang kau menarik.
Bersebab aku menjadi lebih.
Lemah, lesu tapi tak pernah letih.

Titik, garis lalu bidang.
Menjadi berproses melaju.
Berlebih, bertumbuh, berkembang.
Dinamis, nyaris.

Sayang, cinta adalah pembenaran.
Membenarkan yang salah, tapi tidak menyalahkan yang benar.
Sempurna, hendaklah.
Ada paus diawan itu, berenang atau terbang.

Kau adalah pusat.
Entah kau dimana, disitulah garis penopang melawatimu.
Dan mataku seperti enggan melepaskan barang sekedip.
Mungkin, bukan mungkin lagi.
Benar, kau adalah sebab sekaligus pengecualian dan pembenaran.
Karena kau adalah cinta, dan haruslah tetap menjadi cinta sampai habis egoku.

Wonosobo, 7 Desember 2015

0 komentar:

Tentang Lelakiku

04.22.00 Unknown 0 Comments

Oleh : Anu'ma Syifaus S

Lelakiku memang tak banyak diam. Ia lebih suka menari di lubang jahannam mungkin. Tapi mungkin tidak. Baginya, ini lilin untuk temannya tidur.

Matanya sayu diguyur kopi kental malamnya. Entah memang suka larut atau mencari sepi? Aku tidak tahu pasti.

*
Lelakiku sering lalu lalang berputaran. Kadang matanya bisa menyalamiku dari jauh. Dia lebih suka pemandangan depan tanpa sedikit pun lirik yang belakang.

Rokok selalu ada, aku mengerti. Sebatang dua batang dengan jalannya bulan. Kopi sudah jiwanya sejak dulu. Semoga aku tetap jadi wanitanya.

*
Lelakiku sering berpeluh rindu, mengeluh sepi tapi dia pilih bisu. Dia senyum semanis-manisnya.

Kali ini aku terperangkap. Biar dia sesap kesepiannya. Biar aku tunggu dekapannya. Biar sesak, biar ditelan senja, dia tetap lelakiku nomor satu. 

Sekarang aku lebih mencintainya di ruang tunggu imaji. Jadi khayalan memabukkan sebelum terpejam. Biar saja menunggu dijemput nyata tanpa paksa keluar dari mimpi.

Wonosobo, 1 Desember 2015

0 komentar:

Tertindas Di rumahku

04.20.00 Unknown 0 Comments

Oleh: Bagas Ilham Prabowo

Ingin ku di pulau mereka
Jauh di seberang samudera nan ganas
Tak seperti di sini
Perut tak terisi penuh
Sarjana hanya abal abal tak menjamin
Hanya kaki yang mengantarku bekerja
Telinga mendengung seakan ingin membalas mereka 
Mulutku hanya bisa bungkam terpatri
Disini hakku dan hak kami tak dijunjung tinggi
Bodohnya kami...
Percaya dengan tinta hitam di kertas 
Salah kata pun menjadi uang
Salah pemikiran pun terancam
Salah langkah mati
Bodoh yang kedua kali...
Tutur kata sampah
Tetap kami turuti
Demi keamanan diri
Dan hidup lama di dunia ini

Wonosobo, 23 November 2015,Bagas Ilham Prabowo
00.25 Wib


0 komentar:

Filosofi Rokok. (Enyahlah)

17.52.00 Unknown 0 Comments

Oleh: Akbar Daffa Raharja

Ketika sebuah kisah yang terbengkalai oleh langkah,yang tak pernah usai dalam deru debu kota mewah.
Dia menjetikan abu dari rokok setengah panjang, dihisapnya lagi dihembuskan ke awan awan kota malam,dan timbul lagi abu yang dibuang itu. Terus seperti itu,hingga gabus rokok itu menyisakan pahit.
Lalu berpikirlah dia, "tadi rokok itu manis sebelum menyisakan hisapan terakhir yang pahit,apakah hidup juga bakal seperti itu?" "Apakah kenikmatan hidup yang menghasilkan abu yang kujentikan tadi juga bakal hilang cepat termakan langit-langit jalanan" "dan awalnya,aku yang membakar aku aku yang membuang,aku juga yang merasakan pahitnya,apakah hidup juga demikian?"

Lalu kopi pesanan itu datang, seperti menemukan cintanya, rokok itu berpadu dengan kopi. Apakah harus aku menemukan cintaku biar abu-abu yang kujentikan tadi tak kubuang sia sia,lalu pahit itu tak kurasakan karena telah terbakar sibuku menyesap kopi. Dan kemudian rokok itu mati. 
dan sepertinya memang demikian,harus kutemukan cintaku biar hidup ini tak terbuang sia-sia, dan pahit yang seharusnya kurasakan hilang karena kesibukanku yang lain.

Lalu aku bertanya kepada wanita yang duduk sendiri dari tadi,sambil mengetuk kata sandi. "Apakah kamu sendiri? Bolehkah aku berbagi cerita tentang kesepianku?" 

Wanita itu pergi tak meninggalkan arti. Dan kusimpulkan "kadang cinta ditemukan dengan mudah,dihantarkan oleh entah,tapi kadang pula cinta harus dicari dan dinikmati sendiri"

 

0 komentar:

Sejak Sore Itu

17.47.00 Unknown 0 Comments

Karya: Novan Dwi Saputra

Sampai kapan aku harus terus mencarimu? Detik seakan berhenti bergerak, dan derap langkahmu semakin jauh; hilang.

Aku pernah berjanji pada diriku sendiri, bahwa kau bukan lagi prioritasku. Ah! Bayang bau parfummu seakan tak pernah bisa pergi; melekat.


Apakah aku yang terlalu bodoh untuk terus mengingatmu? Bagaimana tidak? Aura badanmu saja masih sangat kuhafal.

Sejak sore itu, aku mencoba perlahan menghilangkan semua tentangmu, tubuhmu yang setidaknya pernah melekat erat dengan tubuhku, tanganmu yang seolah tak mau lepas dariku; kenanganmu.

Apa seharusnya aku mengatakan permintaan maaf padamu? Kurasa sangat tidak perlu. Pantaskah bila yang selalu teracuhkan ini mengatakan “hey aku minta maaf!” Hahaha sangat hina.

“Aku sangat berhutang 'sakit hati' kepadamu!” Kau katakan itu padaku. Apakah aku ingin kau merasakan itu juga? Sama sekali tidak. Tapi, bagaimana keadaan sekarang? Nampaknya utang yang kau sebut tadi makin menumpuk.

Aku tahu, ini keadaan yang tak diinginkan olehmu, begitupun aku. Senyum, sapa, tawamu sudah sirna. Jangankan itu, menatapku saja sudah jadi hal yang haram; bagimu.


Sudah jelas kan semuanya? Tak perlu lagi ada tanya. Sudah cukup kalimat-kalimat ini membahasakan wajahnya. Dan seperti kisah melodrama di serial tv itu; selalu ada pergi, selalu ada hati yang tanggal dan terpatahkan setiap kali kau pura-pura, menutup mata.

Di ujung sajak ini, sunyi hanya dinding
dan kita ketidakpastian, 
mungkin ketidakmampuan,
semuanya konotasi.

Cukup; selamat tinggal.

0 komentar:

Bukan Pecinta yang Baik

17.45.00 Unknown 0 Comments

Oleh: Anggun Widi

Kau dan aku
seperti penulis dan penerjemah
Kau selalu berhasil dalam menulis
Dan aku terus gagal menterjemahkannya

Kau seakan menulis untuk ditemani
Hingga malam berganti dini hari
Tapi malah ku tinggal pergi
Beriringan dengan datangnya sepi
Pikirku kau sudah menunggu dalam mimpi.

Kau seakan menulis untuk mawar
Padahal dia berduri
Hingga aku salah mengerti
Yang akhirnya hanya ku beri seikat perih.

Kau seakan menunjukan sebuah keromantisan
padahal kau tau, mataku sudah tak awas
Apalagi yang kau tunjukan adalah hal yang sulit ku lakukan.

Entah lah,
Entah salah mu menerima ku
Atau salah ku memilih mu
Tapi akhirnya selalu begitu
Aku, bukan pecinta yang baik.

Wonosobo 6/11/15

0 komentar:

Coba

17.43.00 Unknown 0 Comments

Oleh:  Wahyu Dwi Aditya

Lupakanlah Kata 
kata Dari Dada 
Siapkanlah kaca 
Kaca untuk berkaca 
Dengan apa adanya 
Hidupku memang sudah seperti ini 
Cerita ku ramah 
Tak berarti tanpa dilayar merah 
Jangan liat manis saja 
Banyak hal yang tak kau duga 
Dan kau bilang ku angkuh 
Kita kenal tidak jauh 
Dan kau dekati saat aku mulai bergerak maju. 

0 komentar: