Matinya Seorang Tuan Tanah

08.26.00 Unknown 0 Comments


(image from: pinterest.com)
Sudjono menutup rapat akbar itu dengan pekik “Hidup tani!” sebanyak tiga kali. Pada setiap jeda dan di akhir pekik Sudjono, ratusan petani desa Margosari yang menghadiri rapat di tengah lapangan itu menjawab sambil mengangkat tinju kiri dengan teriakan yang sama. Petani-petani itu adalah buruh tani anggota Barisan Tani desa Margosari.

Rapat akbar itu diorganisir oleh pengurus Barisan Tani desa Margosari. Sudjono ditunjuk oleh pengurus Barisan Tani desa Margosari untuk menjadi orator di rapat akbar sore itu. Rapat akbar itu sendiri adalah rangkaian kegiatan konsolidasi dan sosialisasi reforma agraria.
Tapi sebetulnya Sudjono bukanlah anggota Barisan Tani. Ia adalah anggota serikat buruh kereta api. Namun, karena desa tempat tinggalnya adalah basis Barisan Tani, ia sering terlibat pada kegiatan-kegiatan yang diadakan organisasi itu. Seperti pada sore ini, ia diminta menjadi orator rapat akbar. Tugas utama Sudjono adalah menyampaikan pokok-pokok Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), dan membakar semangat anggota Barisan Tani dalam perjuangan reforma agraria. Pemahaman atas reforma agraria dan keahlian berpidato yang dimiliki Sudjono, memang seringkali jadi tumpuan utama Barisan Tani desa Margosari pada acara rapat dan diskusi.
***
Ahmad tidak henti-hentinya mengumpat ketika dua orang mata-mata suruhannya kelar menyampaikan laporan dan pamit pulang. Teriakan-teriakan itu seolah bisa didengar langsung oleh B: “Tanah untuk petani!”, “Laksanakan UUPA!”, “Hidup petani!” Padahal Ahmad hanya mendengar perihal itu dari laporan dua orang suruhannya tadi, dan laopran-laporan sebelumnya. Sekarang, walau hanya sayup-sayup, teriakan itu seolah makin nyata terdengar di telinganya.
Sebenarnya, ini bukan kali pertama Ahmad memata-matai kegiatan Barisan Tani di desa Margosari. Hampir setiap kegiatan Barisan Tani desa Margosari tidak luput dari pengawasan Ahmad. Ketika mata-mata suruhannya selesai menyampaikan laporan, Ahmad akan tak henti-hentinya mengumpat selama beberapa saat. Pada waktu-waktu seperti inilah istrinya akan selalu jadi sasaran murka Ahmad.

Seperti sore itu juga. Lastri, istri Ahmad, menerima luapan amarah Ahmad. Ketika Lastri mengantarkan secangkir kopi untuk suaminya yang tinggal duduk sendirian di beranda, ia justru dihujani murka. Ini adalah kenyataan pahit yang rutin ia terima tiap kali suaminya menghadapi setiap masalah. Apapun masalahnya.

“Dasar istri tak berguna! Mengurus anak saja tak becus. Percuma kau ku pelihara!” Kalimat itu selalu keluar dari mulut Ahmad apabila memarahi istrinya. Meskipun masalah yang Ahmad hadapi bukanlah urusan rumah tangga dengan istrinya, kalimat makian tersebut tetap selalu keluar dari mulut Ahmad.

Tapi Lastri adalah perempuan yang terdidik dengan budaya Jawa. Istri adalah pelayan suami, demikian satu-satunya ajaran yang Lastri terima dalam hidupnya. Sehingga membantah suami adalah sama sekali haram baginya, apalagi menggugatnya. Ibunya dulu mengajarkan, bila seorang istri ingin ada dijalan yang lurus (kebaikan) maka hanya suami yang mampu menuntunnya. Ajaran itu Lastri pegang hingga sekarang, saat dimana ia sedang ditumpahi murka suaminya.

Lastri kerap menangis ketika suami dan anaknya tidak ada dirumah. Memang hanya menangis saja yang Lastri mampu, itupun mesti menunggu suaminya keluar rumah terlebih dahulu. Tindakan-tindakan lain, selain menangis, tak pernah Lastri lakukan. Pernah sekali waktu terlintas dalam pikiran Lastri untuk meninggalkan rumahnya secara diam-diam, tapi pikiran itu segera hilang ketika ia mengingat ajaran ibunya. Selain itu, Lastri juga sangat menyayangi anaknya yang cuma satu-satunya.
Meski demikian, Ahmad tak pernah melakukan kekerasan fisik pada Lastri. Setidaknya sejak terakhir Ahmad melakukannya sekitar setahun yang lalu. Waktu itu, Ahmad dan Lastri ada di beranda rumah mereka, sama seperti tempat dimana mereka sekarang ada. Ahmad yang menjadi begitu marah ketika Lastri telat menyuguhkan kopi kepadanya, mendorong istrinya hingga terjatuh. Dua hari setelah kejadian itu, baru diketahui bahwa Lastri keguguran pada kehamilannya yang baru beberapa minggu. Kehamilan yang Lastri sendiri tidak mengetahuinya.

Padahal Ahmad ingin sekali memiliki anak lagi, apalagi anak perempuan. Keinginannya ini baru muncul ketika anak pertamanya yang laki-laki duduk di bangku kelas 3 Sekolah Menegah Atas (SMA). Menurut Ahmad, anak pertamanya tidak akan becus mengurus harta warisannya kelak. Terlebih usia Ahmad dan Lastri masih sangat memungkinkan untuk memiliki seorang bayi lagi. Mereka dulu menikah di usia yang sangat muda sekali.

Namun keinginan Ahmad itu sebenarnya tidak akan pernah terwujud. Dengan dibantu seorang dukun beranak dari kampung sebelah, Lastri telah mematikan kesuburannya untuk memiliki keturunan lagi. Itu Lastri lakukan dua bulan setelah ia mengalami keguguran, ketika suaminya pergi keluar kota untuk beberapa lama.

Jika Ahmad ingin sekali memiliki anak lagi, terutama anak perempuan. Lastri justru kebalikannya. Ia sangat takut dan tidak ingin memiliki anak lagi, apalagi anak perempuan. Terlebih setelah Lastri mengalami keguguran. ia terus-menerus didatangi seorang bayi dalam mimpi. Anehnya, bayi itu tidak menangis tidak juga tertawa, tidak menunjukan ekspresi apa-apa lebih tepatnya. Hanya senyap. Anehnya lagi, bayi itu hanya muncul 30 detik saja dalam setiap mimpi Lastri. Tak pernah lebih. Sejak pertama kali muncul, bayi itu telah muncul sebanyak 64 kali dalam mimpi Lastri sejauh ini.
Karena jenis kelamin tidak bisa ditentukan sebelum kehamilan, maka Lastri memilih untuk tidak akan pernah hamil lagi. Lastri cuma takut jika ia memiliki anak perempuan, nantinya akan memiliki nasib serupa dengannya ketika menjadi seorang istri. Seperti apa yang Lastri alami sore ini, juga sebelum-sebelumnya, di beranda rumahnya sendiri.
***
Bayu ada dibalik jendela yang menghubungkan ruang tamu dan beranda, ketika ibunya dimarahi oleh bapaknya sore itu.

Hampir selalu begitu. Bayu ada dibalik jendela tiap-tiap ibunya dimarahi bapaknya, pada sore atau malam hari. Pada pagi dan siang hari, Bayu ada disekolah. Kecuali hari minggu. Jadi Bayu tidak tahu apakah pada pagi dan siang hari ibunya pernah dimarahi juga oleh bapaknya. Yang ia tahu, ibunya sering dimarahi pada sore dan kadang malam hari, ketika bapaknya ada di beranda dan ibunya menyusul untuk mengantarkan kopi.

Bayu juga selalu mendengar dengan jelas setiap makian yang ditujukan kepadanya tiap kali ibunya dimarahi. Anak tidak berguna, tidak bisa membantu orang tua, percuma kuberi makan, tidak dewasa, tidak mampu mencari istri. Itulah makian yang ia pernah dengar keluar dari mulut bapaknya. Termasuk sore ini.

Melalui Lastri, Ahmad memang menuntut anak satu-satunya itu untuk cepat menikah. Ahmad memiliki keyakinan bila Bayu kelak tak akan mampu mengurus semua warisan yang akan ditinggalkannya. Karenanya, Ahmad berharap cucunya nanti yang akan merawat dan meneruskan segala warisannya nanti. Jika saja Bayu menikah dan segera memiliki anak saat ini, kelak ketika Ahmad meninggal, cucunya sudah cukup besar untuk mengurus segala harta peninggalannya. Tapi hingga sekarang ini, berpacaran pun Bayu belum pernah.

Walaupun tidak sekuat suaminya, Lastri juga sebenarnya memiliki keinginan agar Bayu segera menikah. Tapi alasan mereka berbeda. Lastri berharap dengan Bayu menikah, maka Bayu akan keluar dari rumah tempat mereka tinggal. Lastri tahu bahwa anaknya sudah sejak lama menderita dengan sikap bapaknya yang keras. Bahkan, tuduhan gagal mendidik anak yang ditujukan kepadanya, justru disebabkan oleh sikap keras Ahmad kepada istrinya itu. Bayu mungkin terganggu psikologisnya akibat itu.

Meski demikian, bukannya Bayu tidak ingin memiliki pasangan atau menikah. Sekalipun belum pernah berpacaran, ia memiliki keinginan yang kuat untuk menikah. Bayu sangat menyukai Mia, perempuan seusia yang pernah satu sekolah dengannya.

Bayu pertama kali mengenal Mia pada kelas 2 SMA. Waktu itu Bayu terjatuh dari sepedanya. Kakinya sedikit terluka karena menghantam batu di jalan. Mia yang kebetulan ada di dekatnya membantu membersihkan lukanya.

Sebelumnya, Bayu sudah mengetahui jika Mia tinggal satu desa dengannya. Ia juga tahu bahwa Mia adalah anak dari pak Sudjono, orang yang sering disebut-sebut namanya dalam laporan mata-mata suruhan bapaknya.

Namun, ia baru tahu saat itu bahwa Mia memiliki mata besar yang sangat indah. Bayu menyukainya. Sejak saat itu, ia selalu jatuh cinta setiap melihat Mia dan menatap kedua matanya. Bayu juga jatuh cinta pada ketulusan Mia dalam membantu orang lain, termasuk ketika ia dibantu membersihkan lukanya. Itulah alasan mengapa diam-diam ia sangat ingin menikahi Mia.
***
Hari ini tanggal 14 Oktober 1965. Balai Desa Margosari sejak pagi-pagi sekali telah habis dilalap api. Siang harinya, tiga toko milik pak haji yang dikontrakan di pinggir jalan utama juga terbakar, dan hanya menyisakan tembok dan genting yang menghitam. Sisanya ludes menjadi abu. Dua orang suruhan Ahmad telah menjalankan tugasnya dengan baik.

Sore harinya, sekitar empat puluh warga berkumpul didepan balai desa yang hangus terbakar pagi hari tadi. Dua orang yang berbadan tegap diantaranya bukan warga desa Margosari. Mereka berdua memperkenalkan diri sebagai utusan pemerintah dari Jakarta.

“Dua kebakaran yang terjadi hari ini adalah ulah orang-orang kiri. Kami berdua ditugaskan oleh pemerintah untuk memastikan orang-orang itu tidak membuat ulah lagi di desa ini.” Demikian salah seorang yang mengaku utusan pemerintah itu memberi pengumuman dimuka warga yang ada disana.
“Ganyang Barisan Tani!” Teriak Ahmad, yang segera disambut dengan teriakan yang sama oleh semua warga yang ada disitu.
“Ganyang Barisan Tani! Ganyang Barisan Tani! Ganyang Barisan Tani!”
***
Dengan berat hati, Mia menuruti perintah Bapak dan Ibunya untuk pergi dari rumah mereka sendiri. Ibunya berpesan agar ia terus saja berjalan ke utara. Menurut ibunya, jika menuruti perintahnya itu, maka Mia akan terhindar dari orang-orang yang berniat mencelakainya.

Akan tetapi, sebenarnya kedua orang tua Mia tidak pernah mengetahui ada dimana tempat yang mempu memberi perlindungan kepadanya itu. Mereka hanya tahu jika Mia terus berjalan sejauh-jauhnya dari desa ini, maka semakin sedikit orang yang mengenalnya. Dengan demikian, mereka berharap tidak ada lagi orang yang akan mencelakainya.

Informasi itu memang sudah menyebar beberapa saat lalu. Bahwa akan ada reaksi dari warga yang bukan anggota Barisan Tani atas dua kebakaran yang terjadi hari ini. Perangkat organisasi Barisan Tani belum sempat melakukan koordinasi. Mereka hanya sempat menyampaikan informasi mengenai akan adanya tindakan pembalasan.

Ternyata informasi yang sangat mendadak itu memang benar. Mia baru sampai pertigaan jalan, ketika rumahnya didatangi puluhan warga yang dipimpin Ahmad. Jika ia berjalan kearah timur, maka ia akan tiba di sekolahnya dahulu. Sementara, jalan kearah utara akan membawanya keluar dari desa Margosari. Mia berbelok ke timur. Ia berharap ada teman yang bisa ia jumpai disana, sehingga ia tidak sendiri dalam perjalanannya nanti.
“Mia!”
Mia mendengar suara laki-laki yang memanggilnya itu. Namun ia memilih untuk mengabaikannya.
“Mia. Tunggu sebentar.” Mia tak juga menghentikan langkahnya, dan membiarkan laki-laki yang memanggilnya itu terus ada dibelakangnya.
“Mia, saya ingin berterima kasih telah membersihkan luka saya waktu itu.”
Butuh waktu 30 detik untuk berpikir, sebelum Mia benar-benar menghentikan langkah dan membalikan badannya. Kini ia berada tepat dihadapan laki-laki yang belum sepenuhnya ia kenal. Mia hanya tahu ia bernama Bayu, dan bapaknya adalah orang terkaya di desanya yang memiliki banyak tanah. Mia berpikir, jika hanya untuk berterima kasih seseorang mesti mengejarnya hingga sejauh ini dan pada malam-malam begini, mungkin dia bukan orang yang jahat-jahat amat. Atau memang sama sekali bukan orang jahat.
“Bayu. Untuk apa berterima kasih pada hal yang sudah lama berlalu?”
“Karena mungkin baru sekarang aku bisa membalas bantuanmu waktu itu.”
“Bantuan?”
“Iya. Sekelompok warga sedang mencari anggota dan keluarga Barisan Tani, termasuk kamu Mia. Mereka punya rencana yang buruk kepada kalian.”
“Rencana…” Belum selesai Mia mengucapkan kalimatnya, ia melihat cahaya api dilangit kejauhan, tepat dari arah desanya.
“Ikutlah denganku, aku mohon. Aku akan membawamu ke tempat yang aman.”
Cahaya api dikejauhan itu ternyata juga membakar habis keteguhan hati Mia. Kini ia merasa benar-benar sendiri. Keluarga dan teman-temannya sementara tiba-tiba hilang dari benaknya. Satu-satunya orang yang bisa ia minta bantuannya hanya Bayu saat ini.
Mia tak menjawab permintaan Bayu. Tapi kini ada tepat dibelakang Bayu, dan mengikuti kemana setiap langkah kakinya.
Barangkali tindakan Bayu memang terlampau buru-buru. Tak cukup persiapan untuk melakukan ini-itu. Bahkan tempat yang aman yang ia maksudkan, belum sempat terpikirkan. Belum tahu dimana. Semantara, Bayu bukanlah orang yang banyak tahu tentang tempat-tempat di desanya, apalagi diluar desanya. Satu-satunya tempat aman yang ia tahu adalah rumahnya sendiri.
“Kamu bisa bersembunyi di rumahku. Mereka tak mungkin mencari-cari Barisan Tani di rumahku. Bukankah begitu?”
Mia lagi-lagi tak menjawab. Ia terus saja melangkah, mengikuti kemana langkah laki-laki yang kini ada didepannya.
***
Mereka berdua masuk melalui pintu belakang, yang memang sudah dibuka sebelumnya oleh Bayu. Tidak ada orang yang tahu ketika mereka masuk, termasuk ibunya. Mia diminta bersembunyi didalam kamar sampai Bayu kembali. Sementara itu, ia mencari ibunya.
“Ibu, kemarin malam aku bermimpi didatangi seorang bayi. Ia hanya diam saja. Tapi, kemudian aku berubah menjadi bayi itu.” Bayu membuka pembicaraan.
“Mimpi yang aneh.” Ibunya menimpali.
“Ibu, aku ingin menikah besok.”
Ibunya yang sempat kaget, kemudian berbalik tersenyum. “Jangan pernah bercanda soal pernikahan. Nanti kau kualat nak!”
Bayu tak menjawab. Ia menarik tangan ibunya, lalu menuntun ke arah kamarnya. Sementara itu, Bayu semakin yakin bahwa hanya dengan cara menikah dengan Mia, maka ia dapat melindunginya. Melindungi istrinya sendiri.
***
Semalaman mereka berdua tidak tidur. Mereka terus berjaga-jaga, kalau-kalau ada yang tahu jika Mia bersembunyi disini, lalu menciduknya. Tapi itu tak terjadi hingga pagi.

Pukul 04:00, Ahmad pulang bersama empat orang anak buahnya, mereka nampak begitu bahagia. Dari cerita mereka yang terdengar hingga kamar Bayu, diketahui bahwa mereka baru saja menumpas puluhan anggota Barisan Tani. Ada yang dibunuh langsung, ada yang dikumpulkan di balai desa. Dari ceritanya juga diketahui bahwa Sudjono, orang tua Mia, juga telah dibunuh dengan cara dibakar bersamaan dengan rumahnya. Sebelumnya, Sudjono diikat dengan tali pada sebuah tiang di ruang tengah dengan mulut tersumpal kain, kemudian rumahnya dibakar hingga menyisakan tembok dan genting yang legam. Sementara itu, istrinya dibunuh dalam perjalanan menuju balai desa, lalu mayatnya dibuang di kali dari atas jembatan.

Sekarang Bayu sedang duduk di beranda rumahnya menunggu penghulu, yang pagi tadi ia temui dengan tergesa-gesa. Awalnya penghulu itu menolak untuk menikahkannya, dan minta waktunya diundur menjadi lusa. Setelah menjanjikan bayaran tiga kali lebih besar dari yang biasa ia terima, akhirnya penghulu itu bersedia datang pada sore hari.
“Dimana perempuan sialan itu!”
Bayu sempat terkejut, namun tetap tak menjawab. Bapaknya tiba-tiba pulang. Padahal siang tadi, bersama puluhan warga, ia pergi ke perbatasan desa untuk menyisir sisa-sisa anggota dan keluarga Barisan Tani.
“Dimana kau menyembunyikannya?”
Bayu tetap tak menjawab. Rupanya ada seorang warga yang memberi tahu kepada bapaknya, bahwa tadi malam Bayu dan Mia terlihat berjalan bersama.
Saat bapaknya hendak masuk ke dalam rumah, Bayu bangkit dari tempat duduknya. Bayu mendorong bapaknya cukup keras hingga terjatuh, dan kepala bagian belakangnya bocor setelah menghantam tiang kayu. Darah mengucur deras membasahi sebagian rambut dan kepalanya. Kira-kira sepuluh detik kemudian, bapaknya menghembuskan nafas terakhir. Ahmad meninggal.
“Jika dalam satu malam kau bisa membunuh 20 nyawa, maka dengan membunuhmu aku menyelamatkan 200 nyawa dalam 10 hari,” pikir Bayu.
Lastri yang mendengarkan suara suaminya dari balik jendela, tak sempat keluar hingga saat suaminya meninggal. Lastri sempat ingin menangis. Namun itu buru-buru batal, ketika ia ingat cerita Bayu tentang mimpinya kemarin.
“Seorang bayi tak berdosa pun ingin membunuhmu.”

*ditulis oleh Roma Bin Pii

0 komentar:

Menegaskan ‘Seni Untuk Rakyat’

08.18.00 Unknown 0 Comments


(image from: https://bumirakyat.files.wordpress.com/2013/01/kumpulan-ilustrasi-lekra-di-harian-rakyat.jpg?w=640&h=392&crop=)

Tak banyak yang tahu mengenai buku penting ini. Padahal, buku ini berusaha memberi jawaban atas salah satu polemik tua dalam sejarah umat manusia: hubungan seni dan politik. Perdebatan soal ini telah membelah para seniman dan pendukungnya dalam dua kubu besar: ‘Seni untuk Seni’ versus “Seni untuk Rakyat”.

Adalah Basuki Resobowo (BR), seorang pelukis besar Indonesia, yang berusaha menjawab perdebatan itu dalam bukunya, “Bercermin Di Muka Kaca: Seniman, Seni, dan Masyarakat”. Diterbitkan oleh penerbit Ombak, pada tahun 2005, buku itu kurang tersebar luas dan diketahui banyak orang.

Memang sejak BR berusaha memenuhi niatnya menulis. Akan tetapi, beberapa kali niatan itu kandas di tengah jalan. Namun, tiba-tiba sebuah kejadian memaksanya harus menulis dan menjelaskan posisi. Adalah pernyataan Sudjojono, bekas kawan seperjuangannya, yang membuat BR sangat ‘terprovokasi” menulis. Sudjojono bilang, “melukis dan politik adalah dua hal yang berlainan.”

bercermin-di-muka-kaca
Judul buku: Bercermin Di Muka Kaca: Seniman, Seni dan Masyarakat Penulis: Basuki Resobowo Penerbit: Ombak Cetakan: April 2005 Tebal: xxii + 139 halaman ISBN: 979-3472-18-9
Bagi BR, kata-kata Sudjojono itu ibarat “petir di siang hari”. “Setelah membaca kata-kata Sudjojono saya menjadi kaget. Ia pisahkan seni dari politik atau seni dari revolusi,” kata BR (hal. 11).

BR berusaha mengingat-ingat masa lalu, tepatnya tahun 1938, ketika Sudjojono dan sejumlah pelukis progressif mendirikan organisasi bernama Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi). Saat itu, dalam kenangan BR, Sudjojono termasuk pencetus seni-rupa modern.

Menurut Sudjojono, sebagai seorang seniman—sekaligus sebagai manusia Indonesia—karya seni haruslah bercorak Indonesia. Agar bisa bercorak Indonesia, maka seniman tidak boleh hidup terpisah dari kehidupan rakyat. Sebab, keadaan rakyat-lah yang merupakan keadaan sesungguhnya. Karya seni pun haruslah bertolak pada keadaan rakyat itu. Inilah dasar realisme!

Pemikiran Sudjojono tertancap kuat pada BR. BR masih mengingat pesan Sudjojono pada dirinya: “Bas, memang benar apa yang mereka (baca: pelarian Indonesia di Singapura) bilang. Apalagi kita sebagai seniman jangan sampai absen dan tidak ikut mengalami situasi politik yang penting dari sejarah bangsa Indonesia. Lingkungan dan masa memainkan peranan dalam terjadinya suatu karya seni, sekalipun bukan sebagai komponen yang menentukan.” (Hal. 16).

BR adalah seorang marxis-tulen. Tak heran, cara pandangnya tentang seni pun sangat dipengaruhi marxisme. Di sadar, cita-cita kesenian haruslah dianggap sebagai upaya membawa seni kepada paham estetika baru, yaitu melenyapkan selera borjuis yang dekaden dan menghidupkan seni yang mengisi dan memperkaya unsur kerohanian pada golongan lebih luas pada masyarakat, yaitu massa rakyat. Inilah aliran “Seni untuk Rakyat” (Hal. 22).

Gerakan “Seni untuk Rakyat” makin menguat tatkala Sudjojono bersama seniman-seniman progressif lainnya mendirikan Seniman Indonesia Muda (SIM) pada tahun 1946. Organisasi ini, seperti diakui BR, adalah embrio dari organisasi kesenian terbesar di tahun 1960-an: Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra).

Haluan “seni untuk Rakyat”, yang sudah menjiwai SIM, kemudian dikembangkan oleh Lekra menjadi gerakan “1-5-1”: politik sebagai panglima, meluas dan meninggi, tinggi mutu ideologi dan artistik, tradisi baik dan kekinian revolusioner, kreativitas individual dan kreativitas massa, realisme sosial dan romantik revolusioner, dan turun ke bawah (turba).

Lukisan Telanjang

Di buku kecil yang hanya 139 halaman ini, BR juga berusaha menulis secerca kisah perjalanan hidupnya. Lalu, Hersri Setiawan, aktivis Lekra yang memberi prakata di buku ini, berusaha meringkasnya lagi dalam artikel penutup berjudul “Sosok Basuki Resobowo”.

Ia bercerita tentang lukisannya yang bergambar “wanita telanjang”. Basuki menuturkan, pada saat pameran lukisan pelukis SIM di Madiun, tahun 1947, lukisan tersebut diikutsertakan. Baru dua hari dipamerkan, lukisan itu sudah hilang. Rupanya, ada kelompok yang tak senang dengan lukisan itu. Dianggap merusak akhlak!

Chairil Anwar, yang sempat melihat lukisan itu, mengaku terkesima. Penyair terkemuka Indonesia sampai berdiri 10 menit di depan lukisan itu. Bahkan ia menyempatkan waktu untuk membuat puisi tentang lukisan itu: Surga. “Hebat kau, Bas, semua yang kau ceritakan ada di lukisan itu,” kata Chairil kepada BR.

Bagi BR, lukisan telanjang itu merupakan bentuk “pendobrakan” terhadap kebudayaan Indonesia yang dekaden. Namun, ia mengatakan, lukisan telanjangnya berbeda dengan lukisan telanjang-nya Affandi. “Citranya bukan mendobrak budaya yang dekaden, melainkan media komunikasi high society di masyarakat eropa dan juga Indonesia,” kata Basuki (Hal. 52).

Tetap Teguh!

Dalam buku itu, BR juga seakan menegaskan sikap politiknya tak pernah luntur: seorang marxis. Kendati, ia menerima pahit-ketir akibat pilihan politiknya itu dan membuatnya menjadi “imigran politik” di Eropa.

Bahkan, ketika kawan seperjuangannya, Sudjojono, seakan berpindah-haluan, Basuki tetap memeluk erat keyakinan politiknya itu. Padahal, ia terkadang menyaksikan kisah pahit para imigran politik di luar negeri: frustasi, pertikaian, hingga perpecahan.

Perjuangan memang tak mengenal kata akhir. Begitulah, pada tahun 1990-an, BR masih terlibat dalam aksi politik menentang eksekusi 6 tapol PKI (Ruslan Wijayasastra dkk) di Indonesia dan berbagai aksi mendukung perjuangan anti-kediktatoran orde baru di tanah-airnya.

Basuki dilahirkan di Baturaja, Palembang, Sumatera Selatan. Sebagai anak asuh seorang paman yang berpangkat Wedana-polisi, Basuki bisa mengenyam pendidikan di ELS (sekolah rendah anak-anak eropa). Pada tahun 1930-an, ia sempat ke jogja dan bersekolah di Taman Siswa.

Tahun 1930-an itu, ia mulai mengenal dan berkenalan dengan Sudjojono. Sejak itu pula Basuki bertransformasi menjadi pelukis revolusioner. Menjelang pembacaan proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, Basuki menggelar aksi mural untuk mengabarkan Proklamasi 17 Agustus 1945 ke khalayak luas.

Ia terilhami oleh pelukis kiri Meksiko, Diego Rivera, yang membuat propaganda melalui mural di tembok-tembok. BR pun melakukannya pada trem dan kereta api ekspres Jakarta-Surabaya. Dengan demikian, sebelum proklamasi dibacakan oleh Bung Karno, sebagian rakyat sudah tahu bahwa Indonesia sudah MERDEKA.

Rudi Hartono, pimred berdikarionline.com

*diambil dari http://www.berdikarionline.com/memahami-seni-untuk-rakyat/

0 komentar: