Tentang Perempuan-Perempuan yang Samar dalam Sejarah

16.39.00 Unknown 0 Comments



Oleh: Egi H

Aku memang tahu, 
sejak dulu bangsa ini erat kaitannya dengan hierarki patriarkal
di banyak daerah
di banyak wilayah
pria adalah wujud paling tepat menggambarkan pemimpin kuat.
Iya, tidak terbantahkan lagi. 
Aku tahu.

Aku dapat mengerti jika dengan hipotesis semacam itu 
Tidaklah mengherankan muncul tokoh proklamator, tuan besi, juga pemikir cerdas 
yang menghiasi 
pelajaran sejarah di sekolah-sekolah
dari SD sampai Madrasah Aliyah
dan semua tokoh itu jelas berasal dari kaum Adam saja.
Tapi aku dapat mengerti. Aku bisa berkompromi.

Sebagai perempuan yang begitu kagum dengan pemimpin bangsa terdahulu, 
aku boleh bangga, 
sebab aku lebih skeptis dari kebanyakan rakyat Indonesia pada umumnya.
Selain nama lengkap, riwayat pendidikan,    dan tanggal kelahiran yang aku hafal di luar kepala
justru aku lebih tertarik dengan istri mereka
sebutlah saja
Ibu Fatma, Ibu Tien dan Ibu Ainun


Pernah ada hari dimana negeri tidak berkesempatan merdeka pada tujuh belas Agustus 
kalau saja Ibu Fatwa terlambat menjahit bendera pusaka.
Sayangnya, itu gagal terjadi. 
Ibu Fatma terlalu tangguh dan kuat di saat Sang Singa podium kurang enak badan shubuh pagi menjelang proklamasi.
Aku tahu.
Aku tidak melupa. 

Untuk hal kecil yang dilupakan,
Untuk peran vital yang terlewatkan
ada sosok Perempuan yang tegap berdiri
di belakang Pria hebat yang rezimnya sering disebut tirani.
Begitulah Ibu Tien, 
aku tidak bisa membayangkan setegar apa hatinya
sehebat apa caranya bicara
menjadi yang paling sering berada bersama orang nomor satu Indonesia, pada waktu itu. 
Aku berani jamin, banyak sekali keputusan besar yang diambil Soeharto terlebih dulu lewat saran dan masukan Ibu Tien. 
Mungkin, dialah pemimpin sesungguhnya.
Aku mengira. Aku tidak mau memperdebatkannya. 

Ini masih segelintir,
dari begitu banyaknya sosok yang seolah diabaikan
tanpa pernah kita memberi sedikit saja 
rasa kagum pada mereka.

Ah tentu, belum lagi Ainun. 
Betapa hebat kisah cintanya dengan bapak Habibie. 
Begitu tulus simpul senyumnya
begitu besar pengaruhnya
menepuk-menepuk pundak bapak kita Habibie 
ketika Timor-Timor lepas
dan seluruh penjuru negeri mencaci maki. 
Ah, Ibu Ainun. Kalau aku yang ada di posisi itu mungkin aku sudah kabur 
menghilang dan mencari suami baru
rasanya besar sekali beban yang dipikul menjadi istri kepala Negara. 
Aku tahu itu. 
Aku mencoba merasakannya.

Begitulah perempuan, 
begitulah ibu-ibu kami
yang bagai tanah kaki memijak
menopang apa saja
tanpa banyak bertanya kenapa.

Masih banyak, 
Indonesia masih punya perempuan hebat
Walau diskriminasi gender tidak akan pernah hilang secara konkret
mereka akan selalu muncul dari penjuru sepi,
sukmanya tidak pernah diketahui
selalu terlambat dipahami
dan
yang terpenting 
tidak pernah mati.

Ibu Inggit masih di sini, 
Kartini, Nyai Ageng Serang, Ratu Kalinyamat
Mereka semua tidak terkecuali
adalah besar yang dilihat kecil
tapi tidak pernah cukup ada sanjungan
Untuk perempuan-perempuang yang sering terlewatkan dalam tapak sejarah Indonesia kita.
Aku mengerti. 
Aku mulai memahami. 
Oh amuk-amuk sepi
(29 Oktober 2015)



0 komentar: