Adam di Firdaus dan Tiga Sajak Lain Subagio Sastrowardoyo

13.50.00 Unknown 0 Comments

(image from: pinterest.com)

JARAK
Bapa di sorga.
Biar kita jaga jarak
ini antara kau dan aku
Kau hilang dalam keputihan ufuk
Dan aku tersuruk ke hutan buta.
Hiburku hanya burung di dahan
dan jauh ke lembah
gerau pasar di dusun.
Aku tahu keriuhan ini
hanya sekali terdengar
Sesudah itu padam segala suara
dan aku memburu ke pintu rumah.
Bapak di sorga,
biarlah kita jaga jarak ini
Sebab aku ini manusia mual
Sekali kau tampak telanjang di hutan
aku akan berteriak seperti Yahudi :
“Salib!”
Dan kau akan tinggal sebungkah
lumpur lekat di kayu.
EKSPRESI
kepada Affandi
Luka terlalu parah
tak tertampung dalam cermin
Tubuh yang terbayang
sepi — menepiskan bentuk.
Bahkan merah hitam
yang terpalut di atas kanvas
tak kuasa menjeritkan
derita — menikam dalam.
Hanya darah, mungkin
Darah sendiri yang tergarit dengan jari
di dinding — jari yang gementar dalam lapar.
ADAM DI FIRDAUS
Tuhan telah meniupkan nafasnya
ke dalam hidung dan paruku
Dan aku berdiri sebagai adam
di samping sungai dua bertemu.
Aku telah mengaca diri
ke dalam air berkilau. tiba aku terbangun
dari bayanganku beku:
Aku ini makhluk perkasa dengan dada berbulu.
Aku telanjangkan perut dan berteriak:
“Beri aku perempuan!” dan suaraku
pecah pada tebing-tebing tak berhuni
Dan malam Tuhan mematahkan
tulang dari igaku kering dan menghembus
nafas di bibir berembun. Dan
subuh aku habiskan sepiku pada tubuh bernafsu
Ah, perempuan!
Sudah beratus kali kuhancurkan badanmu diranjang
Tetapi kesepian ini, kesepian ini
datang berulang.
MERAH
aku suka kepada merah
kerana mengingat kepada darah
yang berteriak ke arah sawang
merebut terang.
darah mengalir
waktu lahir
darah mengalir
waktu akhir
darah
getah bumi
membeku
pada aku
dalam darah
berbayang
nyawa
pucat bagai siang.
KAMPUNG
Kalau aku pergi ke luar negeri, dik
kerana hawa di sini sudah pengap oleh
fikiran-fikiran beku.
Hidup di negeri ini seperti di dalam kampung
di mana setiap orang ingin bikin peraturan
mengenai lalu lintas di gang, jaga malam dan
daftar diri di kemantren.
Di mana setiap orang ingin bersuara
dan berbincang tentang susila, politik dan agama
seperti soal-soal yang dikuasai.
Di mana setiap orang ingin jadi hakim
dan mengeroyok keluarga berdansa, orang asing
dan borjuis yang menyendiri
Di mana setiap tukang jamu disambut dengan hangat
dengan perhatian dan tawanya.
Di mana ocehan di jalan lebih berharga
dari renungan tenang di kamar.
Di mana curiga lebih mendalam dari cinta dan percaya.
Kalau aku pergi ke luar negeri, dik
karena aku ingin merdeka dan menemukan diri.

Dikutip dari kumpulan puisi Simfoni (1957) oleh Subagio Sastrowardoyo (1924-1995), penyair Indonesia yang lahir di Madiun, Jawa Timur. Selain menulis puisi beliau juga seorang pensyarah, cerpenis, kritikus sastera dan eseis.

0 komentar: