10.000 Jam Latihan (dan Mungkin Ketololan)

12.15.00 Unknown 0 Comments

(image from: pinterest.com)


Oleh: Eka Kurniawan

Menurut penelitian Malcolm Gladwell (bukunya Outliers), dibutuhkan 10.000 jam latihan yang penuh dedikasi untuk menghasilkan orang sukses. Itu bisa dipelajari dari para pemain biola hebat, pemain skate, juga The Beatles dan Bill Gates. Melebihi bakat dan keberuntungan (ya, mungkin saja ada faktor ini meskipun kecil), latihan penuh dedikasi dan komitmen melakukannya dalam rentang waktu yang lama, memberi hasil yang jauh lebih nyata. Bagaimana dengan penulis? Saya rasa tak jauh berbeda. Dibutuhkan komitmen dan dedikasi untuk berlatih, dengan cara membaca dan menulis, selama itu. Ya, tak ada yang mudah, memang. Jika kita mendedikasikan waktu 3 jam sehari (secara konsisten, setiap hari) untuk membaca dan menulis, kurang-lebih kita membutuhkan waktu 10 tahun untuk “terlatih”. Artinya, jika berharap menjadi terlatih di umur 20 tahun, seorang anak harus terus berlatih, membaca dan menulis, setiap hari sejak umur 10 tahun! Jika komitmen ini baru dimulai umur 18 tahun, keahlian itu mungkin baru didapat umur 28 tahun. Jika hanya memiliki komitmen untuk membaca dan menulis sebanyak satu jam setiap hari (sekali lagi, setiap hari tak terputus), kita membutuhkan 30 tahun. Mulai umur 10 tahun, baru terlatih di umur 40 tahun. Berat. Memang berat. Di dunia ini, dari miliaran manusia, memang hanya sedikit yang muncul ke puncak. Karena memang hanya sedikit yang punya komitmen waktu seperti itu. Hanya sedikit yang memperoleh medali emas Olimpiade. Hanya sedikit yang menjadi juara dunia. Dan di antara jutaan penulis di dunia, tentu hanya segelintir yang karyanya terus dibaca, dari generasi ke generasi. Entah berapa banyak jam dihabiskan Shakespeare untuk menulis, membaca dan berada di gedung teater setiap hari. Jelas lebih banyak daripada kebanyakan kita. Tentu saja untuk mendaki puncak itu, tak melulu mengenai 10.000 jam. Anda bisa mengikuti riset Gladwell mengenai hal ini. Tapi yang paling menohok saya adalah salah satu hal penting ini: “Jangan habiskan waktu untuk hal-hal kecil”, yang tak berguna untuk karirmu, tak berguna banyak untuk bidangmu. Dalam skema 10.000 jam berlatih, waktu memang memegang peranan penting. Waktu sangat terbatas. Menghabiskan 3 jam sehari saja, kita butuh 10 tahun. Saya tak tahu persis apa “hal-hal kecil” dalam karir menjadi seorang penulis, kalaupun kita merumuskannya, barangkali banyak orang tak bersepakat dan berakhir dengan debat tak ada ujung (dan debat ini bisa jadi “hal-hal kecil” yang tak membawa kita menjadi penulis yang lebih terampil). Tapi saya rasa kita bisa mengukurnya sendiri: fokus terhadap tujuan keterampilan yang ingin dicapai, dan lewatkan apa yang tak mendukung itu. Bayangkan jika kita ingin berlatih menulis kalimat dengan baik, kita melakukannya berkali-kali, berjam-jam, dan lupakan urusan lain yang tak ada hubungannya. Setelah mampu melakukannya, kita lakukan kembali latihan menulis dialog, yang katakanlah, kita ingin di satu sisi tertulis dengan baku tapi terdengar alamiah. Banyak hal yang bisa kita latih dalam hal menulis, dan itu membutuhkan waktu yang sengaja disediakan. Dalam hal ini, memiliki tujuan yang jelas tentang apa yang sedang kita latih, menjadi sangat penting. Memikirkan hal ini, satu hal kemudian mengemuka: apa artinya “berhasil”? Dalam bidang penulisan, seperti apa itu penulis yang berhasil? Berpengaruh besar seperti Dostoyevski atau Kafka? Memperoleh hadiah Nobel seperti Hemingway atau Orhan Pamuk? Memperoleh uang banyak seperti J.K. Rowling? Tentu saja tak semua orang terobsesi untuk “berhasil” seperti gambaran Gladwell, dan karenanya tak perlu menyiksa diri berlatih 10.000 jam (dan terus berlatih setelah itu). Ada penulis yang cukup senang melihat karyanya dicetak, sebagai misal. Atau menyisipkan ungkapan cinta tersembunyi di dalam novel, banyak yang seperti ini. Kita punya ukuran masing-masing tentang “berhasil”. Yang ajaib tentu saja kalau orang berharap memperoleh sebutir kelereng, tapi ngamuk-ngamuk karena orang lain memperoleh segenggam berlian. Atau berharap mengarungi lautan luas, tapi usaha yang dilakukannya hanya merendam kaki ke dalam air di ember. Saya? Saya pengin melihat karya saya bersanding di rak buku dengan penulis-penulis kesayangan saya. Cita-cita saya tampak dangkal dan tolol, tapi sulit melakukannya. Setiap kali saya menyandingkan buku saya di samping buku-buku itu, saya merasa buku saya tak pantas berada di sana. Mungkin saya harus mencoba meletakkan buku saya di sisi buku-buku itu, terus-menerus selama 10.000 jam? Mungkin. Mungkin. Sebab saya yakin, 10.000 jam melakukan ketololan juga bisa berhasil membuat saya lebih tolol berkali lipat, dan sejujurnya, saya sering melakukan hal itu.


diambil dari http://ekakurniawan.com/journal/10-000-jam-latihan-8885.php

0 komentar:

Kisah Gadis Kretek dan Lelaki Harimau

11.53.00 Unknown 0 Comments



Wawancara dengan GEO Times | Sabtu, 14/02/2015
“Maaf, agak telat. Saya kira perjalanannya tidak akan semacet ini,” kata Ratih Kumala memulai perbincangan.
Ratih Kumala dan Eka Kurniawan adalah dua penulis yang belakangan ini namanya makin terkenal di dunia sastra Indonesia. Selain sebagai penulis, keduanya adalah pasangan suami istri.
Keduanya telah melahirkan beberapa novel, selain sempat juga menerbitkan kumpulan cerita pendek. Kedua penulis muda ini bertutur  pada The Geo Times tentang kecintaan mereka pada sastra.
Sebagai pemantik pembicaraan, mereka mengawali cerita tentang ide untuk tulisannya. “Ide tulisan? Kami rasa kami tidak pernah bertabrakan dan gak pernah sama juga,” kata Ratih. Eka menimpali bahwa selama ini mereka jarang memiliki ide yang sama. “Selain itu kami hanya saling cerita tentang tema tapi tidak pernah saling membantu dalam proses membuat tulisan,” tutur Eka.
Eka, kelahiran Tasikmalaya 40 tahun lalu ini menceritakan bahwa untuk ide sampai saat ini jarang ada bentrokan karena ketika di rumah mereka mengurangi pembicaraan mengenai sastra. “Di rumah, kami jarang ngomongin sastra,” kata Eka. Ratih menambahkan bahwa jika berbicara sastra yang ada justru berantem.
“Kalau ngomongin sastra di rumah yang ada malah ribut. Lebih baik ngurus anak aja kalau di rumah,” tambah Ratih yang Juni tahun ini genap berusia 35 tahun.
Baik Ratih maupun Eka menyepakati bahwa tema tulisan mereka selama ini memiliki perbedaan. Ini yang menyebabkan keduanya tidak pernah bertabrakan mengenai ide.
Sebagai seorang penulis, keduanya memiliki tingkat produktifitas yang cukup tinggi. Ratih sampai saat ini telah menerbitkan empat novel dan satu kumpulan cerita pendek.
Sedangkan Eka, selain menerbitkan tiga novel dan tiga kumpulan cerita pendek dia juga pernah menerbitkan satu buku non fiksi.
Ditanya mengenai karya terbaiknya, Ratih merasa bahwa karya yang paling baru yang dia anggap paling baik. “Buku yang paling baru itu artinya kualitasnya lebih bagus karena kita pernah belajar dari kekurangan buku yang lama,” terangnya.
Senada dengan Ratih, Eka pun menjawab pertanyaan tersebut dengan jawaban yang sama. Eka hanya menambahkan buku yang baru itu hadir sebagai perbaikan secara kualitas dari buku sebelumnya.
Beberapa karya Ratih antara lain Tabula Rasa yang terbit 2004, Genesis terbit 2004, Kronik Betawi terbit 2009, dan Gadis Kretek terbit 2012 serta kumpulan cerpen Larutan Senja terbit 2006. Diantara semua novelnya, Ratih selalu memunculkan sosok karakter perempuan kokoh.
“Sebenarnya tidak ada kesamaan di antara semua novel saya, hanya saja ada satu benang merah yakni perempuan tegar yang kuat,” ungkap Ratih. Mungkin terkesan Ratih penganut feminisme, tapi bagi Ratih itu hanya kebetulan.
Sama halnya dengan Ratih, novel karangan Eka tidak memiliki kesamaan secara cerita atau alur. Namun menurutnya jika pembaca lebih memahami karyanya akan ada satu benang merah. “Benang merah dari novel saya adalah semangat membalas dan trilogi dendam,” terang Eka.
Eka mengawali karya novelnya pada 2000 dengan terbitnya novel Cantik Itu Luka. Hingga akhirnya, dua tahun kemudian terbit novel Lelaki Harimau.
Butuh 10 tahun bagi Eka untuk menyelesaikan novel ketiganya Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas yang baru terbit 2014.
Lamanya rentang terbit dari novel kedua ke novel ketiga, bagi Eka disebabkan karena selama ini target yang dia pasang selalu kalah dengan skala prioritas yang dibuatnya sendiri. “Meski ada target untuk menyelesaikan karya dengan waktu yang cepat, saya kira tidak maksimal jika kualitasnya jelek,” ucap Eka.
Ratih, sang istri juga menilai bahwa Eka bukanlah sosok yang terburu-buru dengan karyanya. “Eka ini lebih sabar dengan karyanya. Saat menulis, Eka riset, baca, mengendapkan ide, baru menulis kembali,” terang Ratih. “Ini berbeda dengan saya yang selesai menulis langsung diterbitkan.”
Eka menambahkan bahwa selama menjadi penulis, baginya kualitas harus diutamakan daripada produktifitas. Alasannya pun sangat sederhana. “Di Indonesia, membuat novel tidak akan membuat penulis kaya raya,” kata Eka. Menurut Eka ini karena apresiasi terhadap karya sastra masih sangat kurang. Dia menyesalkan bahwa pemerintah belum memiliki perhatian terhadap karya sastra.
Seringnya novel yang diadaptasi untuk dijadikan film tidak serta-merta membuat kedua penulis ini berniat mengangkat karya-karyanya ke layar lebar. Kesibukan Ratih sebagai seorang editor naskah di salah satu stasiun televisi membuat dirinya mengetahui benar bagaimana proses pembuatan skenario.
“Tidak perlu setiap novel yang terkenal harus diangkat ke layar lebar,” kata Ratih. Dia menyesali bahwa seringkali ketika novel akan diangkat ke layar lebar akan ada banyak bagian dari novel yang dihilangkan. “Ini seperti buku tersebut dibedah, dicabik-cabik, dan hanya dipilih yang diperkirakan menarik bagi penonton. Ini tentu menyakitkan bagi penulis seperti saya,” katanya. Padahal proses kreatifitas selama penulisan novel itu tidak sebentar.
Begitu pula bagi Eka. Dia menganggap bahwa kesuksesan sebuah novel tidak bisa dipandang dari apakah sudah diangkat ke layar lebar atau belum. Baginya, daripada harus mengorbankan novel untuk diangkat ke layar lebar tapi tidak sesuai aslinya lebih baik tidak usah. “Atau kalau mau lebih baik saya membuat naskah untuk film dan jangan langsung dari novel,” ungkap Eka.
Eka menganggap bahwa kesuksesan novel bukan hanya dilihat dari apakah karya tersebut diangkat ke layar lebar atau telah mendapatkan penghargaan. “Kafka ataupun Borges tidak pernah mendapatkan hadiah nobel. Dan itu tidak menjelekkan karya mereka,” kata Eka mengandaikan permasalahan ini. Selama karya itu menyenangkan ketika dibaca, baginya itu adalah sebuah penghargaan yang luar biasa.
Untuk tahun ini, keduanya sedang menantikan karya terbaru mereka. Ratih Kumala, sesuai nama salah satunya novelnya si Gadis Kretek, akan menerbitkan kumpulan cerita pendek dengan judul Bastian dan Jamur Ajaib.
Begitu pula Eka Kurniawan, si Lelaki Harimau, akan menerbitkan kumpulan cerita pendek dengan judul Perempuan Patah Hati Yang Kembali Menemukan Cinta Melalui Mimpi.
Meski memiliki banyak kesibukan di luar dunia menulis, baik Eka ataupun Ratih berharap agar mereka masih mampu berkarya.
Di tengah kesibukannya sebagai pengurus Dewan Kesenian Jakarta, Eka mengharap agar mampu lebih banyak memikirkan ide untuk tulisannya. Meski selama ini dia juga mengakui banyak ide yang muncul namun banyak juga yang gugur. “Namun sampai saat ini saya berharap akan lebih banyak novel yang saya tulis,” kata Eka. [*]

0 komentar:

Pacar Si Karman

21.15.00 Unknown 0 Comments


Oleh: Boris Gabe Tobing


Karman... Dadaku sesak, asap rokok yang kau sesap
Sangking cintanya aku padamu Karman, apa yang kau rasa, aku pula

Dialek kita tadi senja, kau bertanya
Siapa yang berdansa denganku ahad pagi?
Itu bayangmu Karman, dari mimpi semalam yang ikut bangun
Mungkin dia belum puas, minta lagi yang lebih buas

Dengan puisi ini, aku tunggangkan pesanku diatas embun
Selamat pagi, Karman
Tetaplah jadi Karman yang miskin
Agar kita masih bisa terus bercinta dengan sederhana dan apa adanya

Surakarta, 21 Oktober 2016
Tertanda: Suratim, pacarmu

0 komentar:

Wajahmu Dini Hari

21.09.00 Unknown 0 Comments


Oleh : Afni Rufaidah

Sebenarnya malam ini aku tak ingin menulis, tapi siluet wajahmu masih bersinar bak benda magis.
Sekarang ini, tepat dini hari di waktumu.
Aku tak berani menyebutkan pukul berapa, namun wajahmu sudah larut dalam ribuan detik-detik itu. Kantukmu berdenting dalam mimpi. Matamu menyimpan lelah sebanyak dua dibagi nol, hasilnya tak terdefinisi. Sesekali nafasmu tak terkendali, bermimpi apa kau? Jangan-jangan dikejar hati.


Ditemani kopi, pukul 23:59

0 komentar:

Situasi Chairil

12.22.00 Unknown 0 Comments



(image from: google.com)


Oleh: Nirwan Dewanto

Puisi[1] yang unggul bukan hanya puisi yang minta dibaca ulang terus-menerus, namun juga yang mengubah cara kita membaca dan menulis. Demikianlah, Chairil Anwar bukan hanya nama seorang penyair, tapi juga nama untuk sebuah situasi, tepatnya kompleks kekaryaan yang memungkinkan kita menghidupkan bahasa dan sastra kita. Menempatkan ia sebagai hanya pembaharu-pendobrak memang layak dilakukan oleh sesiapa yang menggemari klise dan nostalgia. Sekadar pembaharu bagi saya adalah ia yang hanya hidup untuk zamannya sendiri: ia hanya melahirkan fashionbagi generasinya, yang cepat menjadi kedaluarsa; si pembaharu segera menjadi bagian masa lampau jika kita memandangnya dari arah zaman kita. Tidak demikian hanya dengan Chairil. Sajak-sajaknya menyediakan dasar bagi penulisan puisi sampai hari ini. Atau, dalam sajak-sajak Indonesia yang terbaik, kita selalu dapat menemukan jejak-jejaknya. Demikianlah, situasi Chairil Anwar adalah lingkupnya menegakkan sastra dan budaya tulisan.
Terlalu lama khalayak pembaca tenggelam dalam sejenis mitos bahwa Chairil Anwar adalah si binatang jalang yang terbuang dari kumpulannya, bahwa dengan kejalangan ia membangun sastra yang baru. Mitos demikian hanya akan menempatkan Chairil ke dalam kelisanan yang membuat kita malas menyelami karyanya. Terbalik dengan itu, selama 1942-1949 ia sungguh-sungguh mengerjakan budaya tulisan: melakukan studi terhadap para pendahulunya, membaca sastra dunia dan mengambilnya ke dalam dirinya, merumuskan konsep penciptaannya dengan terang,[2] dan akhirnya menulis (ya, bukan mengarang) sajak-sajak yang membayangi sastra kita hingga hari ini. Puisi Chairil membangkitkan kekayaan bahasa kita sampai ke tingkat yang mustahil dikatakan dengan cara lain, tetapi yang tetap sedap dan masuk-akal, sehingga para penyair yang kemudian seperti gementar di hadapannya dan akhirnya mau tak mau mengambilnya sebagai model atau sebagai lawan-tanding. Demikianlah Chairil Anwar menjadi semacam penyair-induk dalam bahasa kita. Saya tidak mengatakan bahwa puisinya sempurna. Dengan ketaksempurnaannya dalam beberapa segi, sajak-sajak Chairil tetap membayangkan potensi kebangkitan lebih lanjut: yakni bahwa untuk mencapai kepadatan dan kebulatan, puisi boleh “melanggar” tata bahasa. Cacat yang dihasilkannya adalah apa-apa yang mesti dipertimbangkan oleh para penyair yang datang kemudian.
Sudah barang tentu pelanggaran demikian hanya bisa dilakukan oleh ia yang gandrung benar akan bahasa; ia yang pandai memiuhkan hukum bahasa untuk menampilkan dunia secara lain; ia yang berpikir tentang bahasa. Seorang penyair modern pada dasarnya adalah perajin dan pemikir sekaligus: sebagai perajin ia selalu bermain dan bertarung dengan berbagai “teknik” yang disediakan para pendahulu yang sudah ia pilih berdasarkan aspirasinya; dan sebagai pemikir ia mencerna berbagai khazanah pustaka, yang memungkinkan ia melengkapkan dan mengoreksi sastra sebelumnya. Ia tidak meradang dan menerjang: ia percaya bahwa “pikiran berpengaruh besar pada hasil seni yang tingkatnya tinggi”; berkreasi baginya adalah “menimbang, memilih, mengupas”, bukan berimprovisasi, bukan “dipengaruhi hukum wahyu”, bukan “kerja setengah-setengah”.[3]Terhadang sejenis mitos bahwa Chairil Anwar adalah seorang pembaharu, khalayak pembaca kerap meletakkan ia sebagai pelawan tradisi. Bagi saya, tidak. Sebab jelaslah Chairil memperluas tradisi. Ia dengan cermat mencerna puisi lama, memilih model yang tepat untuk dirinya. Bahkan bagi sebagian penyair dan pengupas, sajak-sajaknya yang terbaik adalah yang berbentuk kuatrin, lebih sering kuatrin berima. Kita baca sajaknya berikut ini:

Senja di Pelabuhan Kecil
buat Sri Ajati
Ini kali tidak ada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu, tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut.
Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.
Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap.

Sajak di atas sepintas-lalu tampak seperti kuatrin konvensional dengan tiga bait berima a-a-b-b—c-c-d-d—e-f-e-f. Namun ternyata tidak. Dalam syair, misalnya, setiap larik adalah sebuah kalimat sempurna dengan empat-lima kata, sebuah unit ujaran atau perian yang lengkap. Dalam sajak Chairil tersebut, setiap larik adalah kalimat atau frase yang tak lengkap, menggantung, yang hanya secara “tanggung” berusaha menyambung dengan kalimat atau frase sesudahnya. Terdapat celah bisu-sunyi antar-frase, antar-kalimat, atau antar-larik. Tidak jelas, misalnya, apakah frase “tidak bergerak” pada ujung baris ketiga bait kedua dan “tiada lagi” pada awal bait ketiga mesti tersambung kepada frase sebelum ataukah sesudahnya. Chairil seakan membiarkan baris-barisnya mengerut dan memuai sendiri. “Cacat” semacam ini justru memunculkan tenaga kata dan kombinasi antar-kata. Perhatian kita akan terpusat pada bagaimana ia menghidupkan benda mati (misalnya “tanah dan air tidur”) atau mengkongkretkan yang abstrak (“desir hari lari berenang”). Tetapi perhatian kita mungkin juga bukan terpusat, melainkan bertebaran pada banyak gabungan kata yang mendebarkan, yang tak kunjung terpahami. Apa itu “pantai keempat” (kenapa tak ada pantai-pantai sebelumnya), dan apa pula “bujuk pangkal akanan” (apakah ini lambaian cakrawala, yang selalu menjauh bila dihampiri)?
Bagi saya, “Senja di Pelabuhan Kecil” tak pernah ditulis oleh sesiapa yang tak punya visi dan hormat terhadap bentuk syair atau pantun—juga kuatrin pada umumnya, bentuk yang sudah mantap di berbagai sastra dunia—termasuk bagaimana bentuk demikian diolah kembali oleh generasi sebelumnya. Lebih khusus lagi, Chairil meradikalkan bentuk syair yang sudah dibikin modern oleh Amir Hamzah, penyair Pujangga Baru yang karyanya pernah dikatakan Chairil sebagai “destruktif untuk bahasa lama, tapi sinar cemerlang untuk gerakan bahasa baru.”[4] Ia tahu bahwa kekuatan kata yang dicita-citakan Amir tidak akan muncul cemerlang jika si penyair bertahan pada kesempurnaan kalimat dan larik sajak. Bila kita tamsilkan dengan seni lukis: Amir masih menggambar pemandangan molek rupa di mana ruang masih tunggal-menerus, Chairil melukis ruang yang terpecah-pecah (seperti dalam pasca-impresionisme). Jika pada lukisan Amir kita terpaku akan keseluruhan tamasya, pada lukisan Chairil kita memperhatikan garis, warna, bidang. “Senja di Pelabuhan Kecil” adalah turunan terpiuh “Berdiri Aku” Amir Hamzah.[5] Demikianlah, saya hendak mengatakan bahwa untuk mengedepankan tenaga kata, Chairil justru menjadi penerus tradisi, bukan perusaknya.
Kesetiaan Chairil Anwar terhadap bentuk-bentuk puisi lama sesungguhnya lebih besar daripada yang kita duga. “Senja di Pelabuhan Kecil” juga memperluas konsep sampiran dan isi dalam pantun: bait pertama dan kedua adalah sampiran, dan bait ketiga adalah isi. Kedua bait sampiran tersebut adalah lanskap murni, yang seakan-akan dikatakan oleh orang ketiga. Tetapi sekonyong-konyong orang pertama, si aku, muncul pada bait ketiga, bukan untuk berseru, tapi bergumam lembut, menggarisbawahi apa yang dinyatakan kalimat pertama dalam sajak itu. Pola sampiran-isi ini muncul kembali dalam kuatrinnya yang lain “Derai-derai Cemara”[6]: bait pertama merupakan sampiran murni, bait ketiga isi, dan bait kedua setengah-sampiran, atau kait yang memperantarai kedua bait. Sementara itu, sajak ini juga tampak lebih setia kepada bentuk syair: setiap baris adalah kalimat lengkap, dan setiap kalimat berusaha bertahan dengan jumlah maksimum enam kata. Variasi lain dari perluasan kuatrin-syair adalah sajak “Yang Terampas dan Yang Putus”: tetapi di situ Chairil memisahkan baris keempat dari setiap bait menjadi bait-sebaris tersendiri.
Saya telah menekankan Chairil Anwar sebagai penerus tradisi persajakan sebelumnya. Minat sidang pembaca yang terlalu besar kepada sajak “Aku” atau “Semangat” misalnya, membuktikan bahwa mereka mungkin terlalu kerap menekankan peran penyair yang lahir di Medan pada tahun 1922 itu pada kemahirannya—mungkin juga pada kepeloporannya—menggarap sajak bebas. Di titik ini saya hendak menekankan bahwa sajak bebas pun sebuah konvensi, khususnya konvensi dalam khazanah puisi modern sedunia, dan dengan ini Chairil menyatukan dengan sastra dunia sezamannya.[7] Dengan kata lain, sajak bebas pun adalah hasil disiplin yang tersendiri. Pun dalam khazanah kita, Chairil bukan orang pertama yang mengerjakan sajak bebas; sejumlah penyair Pujangga Baru seperti Roestam Effendi, J.E. Tatengkeng dan Amir Hamzah pun sudah melakukannya. Demikianlah, dalam hal ini Chairil juga seorang pelanjut, bukan pelopor. Ia tentu menyadari kelemahan sajak bebas yang dikerjakan angkatan sebelumnya: “bebas” hanya sekadar tak terikat kepada bentuk-bentuk persajakan lama. Sajak bebas Chairil Anwar lagi-lagi adalah sarananya untuk menonjolkan tenaga kata. Dalam sajak bebas, berlangsung pemadatan radikal: bait bisa menjadi larik, bahkan larik pun masih bisa menyusut lagi menjadi kata. Dan fragmen-fragmen padatan demikian seakan terlepas sendiri, mengambang, bahkan saling bertabrakan, justru untuk menegaskan keseluruhan bangunan sajak. Kita baca:

Kawanku dan Aku[8]
kepada L.K. Bohang
Kami jalan sama. Sudah larut
Menembus kabut.
Hujan mengucur badan.
Berkakuan kapal-kapal di pelabuhan.
Darahku mengental-pekat. Aku tumpat-pedat.
Siapa berkata?
Kawanku hanya rangka saja
Karena dera mengelucak tenaga.
Dia bertanya jam berapa!
Sudah larut sekali
Hingga hilang segala makna
Dan gerak tak punya arti
Sebagaimana terbukti oleh karya di atas, sajak bebas bukanlah sajak tanpa kendali. Bait kedua (yang hanya terdiri dari satu baris saja), sepintas dapat kita gabungkan dengan bait pertama untuk mendapatkan bentuk kuatrin, dengan rima a-a-b-b, namun ia memang harus berdiri sendiri untuk menegaskan unit lanskap yang tersendiri. Hal serupa bisa berlaku untuk bait keenam dan ketujuh. Chairil bukan hanya mengikat larik-lariknya dengan rima luar, yakni bunyi di ujung baris, namun juga rima dalam, yakni pengulangan bunyi vokal dan konsonan di dalam kalimat. Sajak bebas hanya bersifat bebas dalam arti bahwa ia menekankan baris-barisnya untuk berpisah dan menyatu ganti-berganti, mengambang, demi menekankan tenaga kata. Kata “berkakuan” pada bait kedua, misalnya, segera mendapat perhatian kita, karena ia berlaku untuk “kapal-kapal di pelabuhan”, suatu kombinasi yang tak lazim. Namun demikian, satuan-satuan sajak yang mengambang ini ternyata saling mendukung, membentuk sebuah lukisan suasana yang kuat. Rima luar dan rima dalam, dan pertalian imaji yang ketat (antara kapal-kapal yang berkakuan dan si kawan yang menjadi rangka, misalnya) tentu saja hanya terselenggara berkat disiplin. Dan inilah paradoks yang nikmat dalam berbagai sajak penyair yang wafat di Jakarta pada usia 27 tahun ini: kita asyik menjelahi rerinci, namun pada saat yang sama kita meresapkan keseluruhannya.
Malah tak jarang cukuplah kita puas (dan sekaligus terkejut selalu) dengan sebuah bagian atau sebuah frase saja dari Chairil Anwar, sementara bentuk sajak dalam keseluruhannya hanyalah wadah untuk menonjolkan evokasi yang sedikit itu. Pada sajak “Di Mesjid”, Tuhan bukanlah Dia yang didatangi, tetapi yang dipaksa datang dengan seruan, dan ruang ibadah menjadi ruang di mana si aku dan Tuhan “binasa-membinasa”, berperang. Antitesis-nya barangkali adalah puisi “Doa”, di mana si aku di depan Tuhannya menjadi “hilang bentuk” dan “remuk”. Dalam sajak “Hampa”, sepi bukan lagi hanya situasi, tetapi menjadi organisme, yang melalui pengulangan bertingkat menjadi kian besar, membuat pohonan lurus-kaku dan setan bertempik. (Bagi saya, “Hampa”, lagi-lagi, melanjut-tumbuhkan sajak “Sunyi Itu Duka”[9] Amir Hamzah.) Namun dalam mencipta gambaran yang baru, visi yang mengatasi nalar umum itu, si penyair menanggung risiko kegagalan—atau temuannya aus oleh waktu. Frase “aku ini binatang jalang” dari sajak “Aku” (atau “Semangat”) memang baris yang mudah diingat, tetapi jadi “lucu” dan remaja jika dibaca pada hari ini. Sementara itu, frase “hidup hanya menunda kekalahan” (dari sajak “Derai-derai Cemara”) hanyalah pernyataan semu-filsafat. Tentu saja, cacat demikian kita rasakan hanya jika kita memisahkan frase-frase bersangkutan dari bangunan sajak keseluruhan.
Sambil menyelami Chairil Anwar, kita juga mencurigainya. Segenap cacat yang barusan saya bicarakan, terkadang memang diperlukan untuk terciptanya sebuah lukisan, yakni lukisan suasana. Puisi modern bukan hanya memerlukan frase-frase mengambang dan celah bisu di antaranya, tapi juga derau, gangguan, di dalam frase itu sendiri. Ada sejumlah sajak Chairil yang tetap susah terpahamkan hingga hari ini tapi kita baca terus-menerus: karena di sanalah kita melihat lukisan. Jika narasi tersusun secara temporal—yakni kita baca berurutan dari awal hingga akhir—maka lukisan terbuat secara spasial—yakni kita tangkap sekaligus dalam keutuhannya. Sajak sebagai lukisan ternikmati karena ia mengandung tegangan antara yang spasial dan yang temporal. Sajak-sajak seperti “Catetan Th. 1946” dan “Kabar dari Laut,” misalnya, seperti mengandung larik-larik yang hendak berlari sendiri-sendiri, atau terasa canggung rancangannya. Namun derau dan “inkoherensi” semacam inilah yang menjadikan sajak-sajak itu lukisan modern, di mana kita beroleh pengalaman inderawi sambil terlucut dari arti. Sajak-sajak itu menjadi lukisan karena fragmen-fragmennya disatukan oleh matriks yang terbentuk oleh sunyi dan rima. Tidak jarang pula Chairil mengorbankan nahu dan morfologi demi mencapai kepadatan; lihat, misalnya, frase-frase seperti “kita jalan sama” (sajak “Kawanku dan Aku”) atau “hujan menebal jendela” (sajak “Dalam Kereta”).[10] Suatu upaya untuk mengambil kelisanan ke dalam puisi? Barangkali saja. Atau kegagapan Chairil menggumuli tulisan? Namun jelaslah semua cacat yang ditimbulkannya menjadi derau yang menyedapkan, yang menimbulkan rasa curiga yang mengikat kita dalam keseluruhan kerangka bentuk sajaknya.
Frase-frase idiosinkratik, yang seringkali berlebihan kadar itu, adalah risiko tak terelakkan dari seorang perajin-pencari seperti Chairil Anwar. Pandangan romantik mengalamatkan bahwa ekspresi demikian hanya bisa dicetuskan oleh penyair yang “berani hidup”[11]; bahwa Chairil menempuh kejalangan untuk mencapai kebaruan ungkapan. Saya menampik pandangan ini. Membaca puisi Chairil Anwar pada hari ini adalah memberi perhatian kepada keperajinannya, pada ketajamannya menggali bahasa, pada keluasan wawasan sastranya. Para penyair yang memberi tekanan pada kejalangan Chairil—dan mengira si aku dalam puisinya sebagai si penyair sendiri—terbukti hanya menjadi pengikutnya, mereka yang menghasilkan puisi gelap setelah ia. Sajak-sajak Chairil Anwar adalah puisi yang wajar, tetap wajar pun jika dibaca pada hari ini, sementara puisi yang berpretensi baru, “lain daripada yang lain”, menjadi sekadar puisi gelap—“puisi emosi semata-mata” dalam kata-kata Asrul Sani di tahun 1948[12]—yang sudah layu, milik masa lampau. Puisi—tepatnya, sebagian sajak—Chairil Anwar juga bukan hanya berterima, tetapi bisa menjadi model yang hidup hingga hari ini, meski model ini tersembunyi sekalipun di bawah permukaan puisi yang dipengaruhinya. Bagi saya, kuatrin-kuatrin Sapardi Djoko Damono dan Goenawan Mohamad berhutang kepada sajak-sajak Chairil seperti “Senja di Pelabuhan Kecil” dan “Derai-derai Cemara”. Model yang dibangkitkan Chairil bagi para penyair setelahnya pernah saya lukiskan sebagai berikut:

…Chairil Anwar memelihara hubungan antara kalimat-kalimat sumbang—ya, sumbang, jika diukur dengan cara prosa—dengan bentuk persajakan yang tertib, yaitu kuatrin. Seakan-akan bentuk yang sudah mantap dalam sejarah perpuisian dunia itulah—jangan lupa, Chairil juga menggunakan bentuk sonet—fragmen-fragmen kehidupan modern memunculkan diri kembali, kali ini secara lebih ajaib. Karena kata-kata memang belum selesai memancarkan keajaibannya, yaitu bahwa arti mereka yang dikandung oleh kamus barulah setahap kemungkinan arti belaka, dan ini hanya dimungkinkan jika si kata duduk dalam frase yang mengambang, bahkan seakan mengelak dari frase-frase sebelum dan sesudahnya. Namun sekali lagi, frase-frase ini tak bisa terlalu berlepasan, bagaimanapun mereka harus diikat oleh bentuk persajakan yang teratur, dengan rima yang terjaga. Atau, jika dikatakan dengan cara lain: bentuk-bentuk teratur-konvensional yang dipakai Chairil memang tidak pernah genap, selalu mengandung selisih: memang ada rima, tetapi larik-lariknya seakan mengerut di satu bagian dan merentang di bagian lain. Dan selalu ada derau di sana, yang mengganggu keindahan, ya, paling tidak mengusik tata bunyi dan tata rupa yang dicita-citakan kaum pujangga, keindahan yang mengandung “rasa yang dalam” dan “budi yang tinggi”. Derau itu muncul dalam wujud, misalnya, gabungan kata yang tak wajar, sepotong ide yang muncul tiba-tiba, atau kalimat yang berakhir sebelum waktunya. Kadang-kadang, bila kalimat-kalimat Chairil tampak lebih teratur, dan larik-lariknya terasa lebih genap… maka ternyatalah betapa licin sajak itu mengadopsi, sekaligus menyelewengkan, bentuk persajakan tradisional, yaitu pantun… dan betapa “isi”-nya yang semu-falsafi hanya topeng belaka bagi bentuknya.[13]

Penyair menghadapi tradisi yang ada di belakangnya; dan jika tradisi itu terlalu besar dan membebani, maka ia memilih sejumlah pendahulu belaka. Tetapi, seperti dikatakan Jorge Luis Borges, ia bukan hanya memilih, melainkan menciptakan para pendahulunya, dan dengan itu karyanya mengubah cara kita memandang masa lalu dan masa depan.[14]Demikianlah saya dalam tulisan ini mempersambungkan Amir Hamzah, Chairil Anwar, Sapardi Djoko Damono dan Goenawan Mohamad. Sapardi menegaskan bahwa sajak-sajak Chairil yang berhasil adalah yang kembali kepada bentuk klasik; tetapi buat saya, secara lebih gamblang lagi, Sapardi telah mengambil kuatrin-kuatrin Chairil yang jernih dan genap sebagai modelnya sendiri. Sementara itu, Goenawan, lebih menyerap kuatrin-kuatrin yang mengandung derau dan disharmoni, juga sajak-sajak bebas Chairil. “Nyanyi sunyi kedua,”[15] adalah penamaan Goenawan untuk Duka-Mu Abadi, buku puisi Sapardi yang terbit pada tahun 1969, dan dengan itu pula ia menandai kebangkitan kembali tradisi puisi lirik Amir Hamzah-Chairil Anwar.
Jejak-jejak Chairil juga tampak pada para penyair yang kelihatan tak terpengaruh olehnya, atau yang mengambil ia sebagai antitesis. Pantun-pantun baru Sitor Situmorang jelas melanjutkan jalan yang sudah ditempuh aneka kuatrin dan sonet Chairil Anwar, apalagi jika kita timbang bahwa Sitor juga gemar menggunakan katabenda abstrak dan penyataan semu-falsafi. W.S. Rendra menulis puisi naratif sebagai alternatif terhadap puisi Chairil dan para epigonnya, akan tetapi tampaklah bahwa sajak-sajak Rendra juga sering bergantung kepada frase-frase mengambang ala Chairil. Sutardji mengatakan puisinya kembali kepada mantra, tetapi Chairil Anwar sudah jauh lebih dulu menulis mantra modern seperti “Cerita Buat Dien Tamaela” (dan, tentu, sebelumnya, ada “Batu Belah” dari Amir Hamzah). Gerimis dan hujan dalam puisi Sapardi Djoko Damono, dan angin dalam puisi Goenawan Mohamad adalah metamorfosis dari kata-kata yang sama dari Chairil: itulah yang saya maksudkan bahwa penyair menghidupkan kata, memberi nafas baru pada kata melalui rancang-bangun puisinya; dan kata itu pun akan menggoda para penyair yang kemudian. Cara Chairil dalam menyatakan Tuhan, tentulah juga membangkitkan minat para penyair lain untuk melukis-Nya dengan cara yang belum pernah terbayangkan sebelumnya; kita baca, misalnya, “masih terdengar sampai di sini / duka-Mu abadi” (Sapardi)[16]; “Tuhan, kenapa kita bisa / bahagia?” (Goenawan)[17]; “maut menabung-Ku / segobang-segobang,” (Sutardji).[18]
Chairil Anwar bukanlah sebuah monumen, melainkan situasi, yakni situasi yang membuat kita, untuk menggunakan kata-katanya sendiri, “menimbang, memilih, mengupas dan kadang-kadang sama sekali membuang”—dan ini tentu berlaku bilamana kita membaca puisi Chairil sendiri. Yakni bahwa tidak seluruh sajaknya berhasil atau hangat-dibaca di zaman kita,[19] tapi dari kompleks kekaryaannyalah para penyair dan pengupas—juga kita, pembaca—selalu bisa memilih model mana untuk diperihalkan, ditandingi, bahkan ditolak: melalui Chairil kita tahu apa-apa yang belum dikerjakan sastra Indonesia. Saya sendiri ingin berkata bahwa sejumlah sajaknya masih terasa sulit hingga hari ini—dan inilah kesulitan yang justru menggarisbawahi bahwa puisi memang hendak mengatakan apa-apa yang mustahil dikatakan oleh bahasa. Chairil Anwar menularkan kesulitan itu kepada kita semua: yakni bahwa penyair harus memiliki, untuk mengutip ungkapan W.B. Yeats, fascination with the difficult,[20] untuk mencapai tenaga bahasa yang belum terbayangkan sebelumnya. Seorang penyair yang unggul menempuh kesulitan tersebut bukan hanya untuk menguji ketrampilan dan kegandrungannya akan bahasa, tapi juga untuk memperkaya cara pandang kita terhadap dunia.
Situasi Chairil Anwar juga memungkinkan kita bersikap tajam terhadap arus umum yang menyatakan bahwa puisi adalah pantulan riwayat penyairnya. Bagi saya kini, Chairil adalah kerja sastra dengan banyak fasetnya, yang kita tafsirkan terus-menerus; pada suatu ketika kita harus “membunuh” si penyair, karena riwayat penyair hanya memiskinkan tindak pemaknaan kita. Memelihara mitos tentang si binatang jalang hanya menjerumuskan sastra kita ke dalam nostalgia dan kelisanan. Melalui Chairil, puisi kita kini telah bercabang ke sejumlah arah, di mana si aku atau si ia dalam puisi bukan lagi sosok penyair; atau, melalui puisi, penyair hendak membunuh dirinya yang sehari-hari, supaya bahasa leluasa menampilkan keajaibannya. Seperti Chairil, setiap penyair mestinya bergulat dengan bahasa dan tradisi sastra yang ada sebelum ia: ia tak menghamburkan keseorangannya, tapi menjalinkan diri dengan para pendahulu yang diciptakannya dari tanah airnya sendiri maupun aneka belahan bumi. Dengan tradisi yang dikembangkannya, puisi Chairil Anwar adalah puisi hari ini kapan saja kita membacanya. []
Nirwan Dewanto, menulis puisi, esai, maupun genre-genre sastra yang lain. Ia pernah menempuh sejumlah program residensi, antara lain di International House di Tokyo, Jepang; University of Wisconsin di Madison, Wisconsin, USA; International Writing Program di University of Iowa, Iowa City, USA. Buku puisinya adalah Jantung Lebah Ratu (2008).



[1]^ Dalam tulisan ini saya gunakan dua istilah, “puisi” dan “sajak”: puisi adalah khazanah persajakan, yakni poetry dalam bahasa Inggris; sedangkan sajak(-sajak) adalah poem(s).
[2]^ Esai-esai Chairil Anwar, juga berbagai puisi dan prosa yang ia terjemahkan sebagian atau seluruhnya, juga sajak-sajak Chairil sendiri yang belum pernah terbit pada masa sebelumnya, bisa kita baca dalam buku suntingan H.B. Jassin, Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45 (Jakarta: Gunung Agung, 1956). Ejaan disesuaikan untuk kutipan yang saya pakai dalam tulisan ini.
[3]^ Baca esai Chairil “Pidato Radio Chairil Anwar 1943”, dalam Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45.
[4]^ “Hoppla”, dalam Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45.
[5]^ A. Teeuw pernah menulis bahwa “Berdiri Aku” adalah hipogram dari “Senja di Pelabuhan Kecil”; baca esainya “Estetik, Semiotik, dan Sejarah Sastra”, dalam kumpulan esainya Membaca dan Menilai Sastra (Jakarta: Gramedia, 1983).
[6]^ Judul “Derai-derai Cemara” datang dari Pamusuk Eneste, editor buku sajak-sajak lengkap Chairil Anwar, Aku Ini Binatang Jalang, yang sedang anda baca. Sesungguhnya sajak ini tak berjudul.
[7]^ Chairil telah menerjemahkan, atau mencoba menerjemahkan, sajak-sajak bebas, misalnya, T.S. Eliot, Rainer Maria Rilke, W.H. Auden, Archibald MacLeish, Hendrik Marsman, E. du Perron, J. Slauerhoff. LihatChairil Anwar Pelopor Angkatan 45. Dengan penerjemahan (dan penyaduran) ini Chairil menyerap modernisme dunia.
[8]^ Saya pilih satu dari dua versi. Dalam Aku Ini Binatang Jalang, kedua versi dimuat.
[9]^ Sajak sebait-empat-larik ini sesungguhnya tak berjudul. Editor Oyon Sofyan mengambil larik pertama sebagai judul; baca Amir Hamzah,Padamu Jua: Koleksi Sajak 1930-1941 (Jakarta: Grasindo, 2000).
[10]^ Zen Hae menulis, dalam esainya “Chairil dan Sebuah Lompatan” yang dibawakannya di Freedom Institute, Jakarta, 29 April 2010, bahwa kita bisa merekonstruksi frase “kita jalan sama” menjadi, misalnya, “kita di jalan yang sama,” “kita ke jalan yang sama,” “kita berjalan bersama,” “kita jalani bersama”. Kemudian, saya harap, kita bisa pula “memperbaiki” frase “hujan menebal jendela” menjadi, misalnya, “hujan menebal di jendela” atau “hujan menebalkan jendela”.
[11]^ “Aku suka pada mereka yang berani hidup” adalah satu larik dari puisi Chairil “Prajurit Jaga Malam”. Termuat pada Aku Ini Binatang Jalang.
[12]^ Asrul Sani, “Deadlock pada Puisi Emosi Semata”, dalam kumpulan esainya Surat-surat Kepercayaan, suntingan Ajip Rosidi (Jakarta: Pustaka Jaya, 1997).
[13]^ Esai saya, “Titik Tengah”, berbicara tentang sajak-sajak Sapardi Djoko Damono, termasuk hubungannya dengan puisi Chairil Anwar dan avantgardisme Indonesia. Termuat dalam bungarampai Membaca Sapardi, susunan dan Riris K. Toha-Sarumpaet dan Melani Budianta (Jakarta: Pustaka Obor & HISKI, 2010).
[14]^ Baca Jorge Luis Borges, “Kafka and His Precursors”, terjemahan dari Spanyol ke Inggris oleh Eliot Weinberger, dalam Selected Non-Fictions, editor Weinberger (New York: Viking, 1999).
[15]^ Goenawan Mohamad, “Nyanyi Sunyi Kedua: Sajak-sajak Sapardi Djoko Damono 1967-1968,” Horison, Februari 1969.
[16]^ Sajak “Prologue”. Sapardi Djoko Damono, Duka-Mu Abadi, cetakan kedua (Jakarta: Pustaka Jaya, 1975).
[17]^ Sajak “Dingin Tak Tercatat”. Goenawan Mohamad, Sajak-sajak Lengkap 1961-2001 (Jakarta: Metafor, 2001).
[18]^ Sajak “Hemat”. Sutardji Calzoum Bachri, O Amuk Kapak (Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, 1981).
[19]^ Nilai puisi Chairil Anwar seringkali bergantung kepada aspirasi sang pembahas. Sapardi Djoko Damono memilih sajak-sajak Chairil yang berbentuk kuatrin dan sonet, dan mengecam sajak-sajak bebasnya; baca esai Sapardi “Chairil Anwar: Perjuangan Menguasai Konvensi” dalam kumpulan esainya Sihir Rendra: Permainan Makna (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999). Sebaliknya, A. Teeuw dan Goenawan Mohamad menghargai tinggi-tinggi puisi bebasnya; baca, misalnya, esai Teeuw “Sudah Larut Sekali” dalam kumpulan esainya Tergantung Pada Kata, cetakan kedua (Jakarta: Pustaka Jaya, 1983); dan esai Goenawan “Isa dan Beberapa Metamorfosis” dalam kumpulan usainya Eksotopi: Tentang Kekuasaan, Tubuh, dan Identitas (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2002).
[20]^ Saya kutip dari pengantar Seamus Heaney untuk sajak-sajak W.B. Yeats yang dipilihnya, Poems Selected (London: Faber and Faber, 2000).

0 komentar:

Si Pemburu

13.55.00 Unknown 0 Comments

(image from: pinterest.com)

Oleh: Anton Chekov
Hari yang panas dan menyesakkan. Tiada kelihatan awan di dada langit; rumput yang dihangusi mentari kelihatan suram dan menyedihkan: hujan mungkin turun, tetapi kehijaunnya tidak akan lagi berbekas. Hutan itu berdiri kaku, bisu seolah-olah silara pepohonnya sedang meninjau ke suatu arah atau sedang menanti sesuatu.
Seorang lelaki berusia 40-an, tinggi dan berbahu kecil, berbaju merah dengan seluar bertampal, dan berkasut but, berjalan malas di pinggir kawasan lapang hutan. Dia melangkah tenang di sepanjang jalan. Di kanannya berbaris pepohon hijau; di kirinya, jauh di ufuk, terhampar lautan gandum yang masak keemasan. Wajahnya merah dan berpeluh. Sebuah topi putih bermuncung rata, hadiah dari seorang kaya yang pemurah, terpasang rapi di kepalanya. Di atas bahunya tersangkut sebuah beg berisi burung belibis yang baru diburunya. Lelaki itu membahu sebuah senapang patah berlaras-dua, dan dia mengenyit mata pada anjingnya yang tua dan kurus, yang sedang berlarian jauh ke hadapan, menghidu-hidu di sekitar belukar. Sekeliling sunyi sepi, tiada kedengaran sebarang bunyi. Segala yang hidup bagaikan sedang bersembunyi dari terik mentari.
“Yegor Vlasych!” si pemburu itu tiba-tiba mendengar satu suara lembut.
Dia terkejut dan berpaling, sambil berkerut dahi. Di sisinya, bagaikan baru tertonjol keluar dari tanah, berdiri seorang perempuan 30-an berwajah pucat dengan sebilah sabit di dalam genggamannya. Perempuan itu cuba menatap wajahnya dan tersenyum malu.
“Ah, kau rupanya, Pelageya!” kata si pemburu, menghentikan langkahnya dan perlahan-lahan menyahpicukan senapangnya. “Hm! … Macam mana kau boleh ada di sini?”
“Ramai perempuan dari kampung kita bekerja di sini, jadi aku ikutlah mereka… sebagai pekerja, Yegor Vlasych.”
“Oh…” dengus Yegor Vlasych dan perlahan-lahan berlalu.
Pelageya mengekorinya. Mereka melangkah lebih kurang 20 tapak di dalam diam.
“Dah lama aku tak nampak kau, Yegor Vlasych…” kata Pelageya, menatap lembut pada bahu dan tulang belikat si pemburu itu yang bergerak-gerak. “Kau singgah di pondok kita pada hari Easter lalu, dan selepas itu aku tak pernah jumpa kau lagi… kau singgah sekejap pada hari itu, dan kemudian hanya Tuhan yang tahu… dalam mabuk… kau menengkingku, memukulku, dan terus pergi… Aku menunggu dan menunggu… Aku bersengkang mata menunggumu… Ah, Yegor Vlasych, Yegor Vlasych! Kalaulah kau singgah sekejap!”
“Apa yang aku boleh buat di rumah kau?”
“Tak ada apa yang boleh kau buat, tapi… walau macam mana pun ini rumahtangga kita… Ada benda yang perlu dijaga… Kau kepala rumah… Tengoklah diri kau, memburu burung, Yegor Vlasych! Apa kata kau duduk dan rehat sekejap…”
Sambil berkata semua itu, Pelageya ketawa bagaikan orang gila dan menatap wajah Yegor. Wajahnya sendiri berseri-seri bahagia.
“Duduk? Apa salahnya…” kata Yegor dalam nada acuh tak acuh dan dia memilih untuk duduk di antara dua pohon cemara rendang. “Kenapa kau berdiri? Duduklah sekali!”
Pelageya duduk sedikit jauh di bawah terik mentari dan, kerana malu, melindungi mulutnya yang tersengih-sengih dengan tangannya. Dua minit berlalu di dalam bisu.
“Kalaulah kau singgah biarpun sekejap,” Pelageya berkata lembut.
“Untuk apa?” keluh Yegor, melepaskan topi dan mengesat dahi merahnya dengan lengan baju. “Tak ada gunanya. Singgah sekejap untuk sejam dua – buang masa dan buat kau jadi tidak tentu arah – dan jiwa aku tak boleh tahan tinggal begitu lama di kampung itu… Kau tahu aku ini lelaki yang cerewet… Aku perlukan katil untuk tidur, minum teh yang sedap, dan perbualan yang bagus… Aku mahukan keselesaan, dan di kampung itu yang ada hanyalah kemiskinan dan kekotoran… Sehari pun aku tak boleh tinggal di situ. Andai kata ada peraturan yang mewajibkan aku tinggal dengan kau, aku pasti akan bakar rumah itu atau menjahanamkan diriku sendiri. Sejak dulu lagi aku banyak kerenah begini; tak ada satu benda pun yang dapat mengubatinya.”
“Kau tinggal di mana sekarang?”
“Di rumah orang kaya Dmitri Ivanych, sebagai pemburu. Aku bekalkan binatang buruan untuk dia, tapi kelihatannya… dia menanggungku demi kesenangannya.”
“Itu tak patut, Yegor Vlasych … Bagi orang lain ia mungkin sekadar permainan, tapi bagi kau ia satu perniagaan… sumber rezeki…”
“Kau tak faham, bodoh,’ kata Yegor, mendongak muram ke langit. “Sejak kau lahir lagi kau tak faham dan tak akan pernah faham aku ini lelaki yang bagaimana… Bagi kau, aku ni seorang lelaki yang gila dan tak ada hala tuju, tapi bagi yang faham, aku adalah yang terbaik di seluruh daerah. Orang kaya itu tahu dan bahkan dia telah menulis tentang aku di dalam sebuah majalah. Tiada siapa yang mampu menandingiku di dalam hal-hal yang melibatkan pemburuan… Dan kalaupun aku menghina pekerjaan orang kampung kau, itu bukan kerana aku ni sombong atau banyak kerenah. Sejak lahir lagi, kau tahu, aku hanya berminat dengan kerja-kerja yang melibatkan senapang dan anjing buruan. Rampas senapangku, aku akan guna batang kail; rampas batang kail itu, aku akan memburu dengan tangan kosong. Dan, aku juga menjual kuda; berseronok di tapak-tapak pesta jika aku ada duit lebih, dan kau sendiri tahu, jika ada orang kampung melibatkan diri dengan pemburu atau penjual kuda, itu bermakna dia akan melupakan bajaknya. Sekali semangat bebas menguasai seseorang, selamanya dia akan kekal begitu. Samalah seperti seorang bangsawan yang menjadi pelakon atau menceburkan diri ke dalam seni, dia tak akan lagi menjadi seorang pegawai atau seorang tuan tanah. Kau perempuan, kau tak akan faham, dan benda ini perlukan pemahaman.”
“Aku faham, Yegor Vlasych.”
“Itu bermakna kau tak faham, memandangkan kau hampir menangis sekarang…”
“Aku… aku tak menangis…” kata Pelageya, memalingkan tubuhnya. “Ia satu dosa, Yegor Vlasych! Apa salahnya kau luangkan masa sekurang-kurangnya sehari dengan aku, perempuan malang ini. “Sudah 12 tahun aku bernikah dengan kau, dan… tak pernah sekali pun ada cinta antara kita! Aku… Aku tak menangis…”
“Cinta… “ desis Yegor, menggaru-garu tangannya. “Mana mungkin ada cinta. Secara rasminya kita suami isteri, tapi adakah hakikatnya begitu? Bagi kau, aku adalah lelaki liar, dan bagi aku, kau adalah perempuan biasa, yang tak pernah faham. Adakah kita cocok? Aku ini sukakan kebebasan,cerewet, boros, dan kau pula seorang pekerja ladang yang selalu berkaki ayam, kau tinggal dalam lumpur, kau tak pernah mencantikkan diri kau. Aku berfikir begini tentang diriku, bahawa aku ini selamanya akan memburu, tetapi kau merasa kasihan terhadapku… Suami isteri jenis apa kita ini?”
“Tapi kita berkahwin di dalam gereja, Yegor Vlasych!” Pelageya teresak-esak.
“Bukan atas kemahuan kita… Kau dah lupa? Kau patut berterima kasih pada Tuan Sergei Pavlych… dan diri kau sendiri. Disebabkan hasad dengki, kerana aku menembak lebih bagus daripadnya, dia asyik buat aku mabuk sepanjang bulan, dan orang mabuk ni kau bukan saja boleh buat dia berkahwin tetapi juga kau boleh buat dia tukar agamanya. Untuk balas dendam dia kahwinkan aku dengan kau… Seorang pemburu dengan seorang kampung. Kau tahu aku mabuk ketika itu, kenapa kau tetap kahwin dengan aku? Kau bukan budak lagi; kau boleh menolaknya! Sudah tentu, beruntung bagi seorang kampung dapat mengahwini seorang pemburu, tapi kau sepatutnya boleh fikir. Jadi sekarang, menangis dan menderitalah semahumu. Bagi si kaya itu ia satu jenaka, tetapi bagi kau ia satu yang perlu ditangisi… Nasi sudah jadi bubur…”
Diam menyelimuti suasana. Tiga ekor itik liar terbang merentasi sempadan hutan itu. Yengor memerhatikan mereka dan mengikuti mereka dengan matanya sehinggalah mereka mengecil menjadi bintik-bintik halus dan hilang dari jangkauan hutan.
“Macam mana hidup kau sekarang?” tanya dia, mengalihkan pandangannya dari kawanan itik itu ke Pelageya.
“Aku sekarang bekerja di luar, dan pada musim sejuk aku mengambil bayi dari rumah anak yatim dan menjaganya. Mereka memberikanku satu rubel setengah setiap bulan.”
“Oh…”
Diam kembali menyelimuti suasana. Dari batas-batas tuaian kedengaran dendangan lagu mendayu-dayu, yang kemudiannya terus senyap walaupun belum sampai setengah. Hari terlampau panas untuk menyanyikan lagu…
“Mereka cakap kau dah bina pondok baru untuk Akulina,” kata Pelageya.
Yegor membisu.
“Itu bermakna kau cintakan dia…”
“Dah memang begitu nasib kau, takdir kau!” kata si pemburu, meregangkan tubuhnya. “Terima sajalah, si malang. Apa pun, selamat tinggal, kita dah berbual terlalu lama… Aku perlu sampai ke Beltovo sebelum petang…”
Yegor berdiri, meregangkan tubuhnya dan membahu senapangnya. Pelageya juga berdiri.
“Dan bila kau akan balik ke kampung?” tanya Pelageya lembut.
“Tak ada gunanya. Aku takkan balik dalam keadaan siuman, dan bila aku mabuk pula, kau juga yang rugi. Aku akan naik angin bila aku mabuk… Selamat tinggal!”
“Selamat tinggal, Yegor Vlasych …”
Yegor mengenakan topi ke atas kepalanya, terlebih dahulu menyeru anjingnya, dan mula melangkah. Pelageya kekal di tempatnya berdiri dan menatap belakang lelaki itu. Dia melihat tulang belikatnya yang bergerak-gerak, kepalanya yang tersergam, langkahnya yang lambat-lambat dan malas; dan kelopak matanya digenangi kesedihan dan kesayuan… Tatapannya beralih ke sosok badan suaminya itu yang kurus dan tinggi, dan dia mahu memeluk dan membelainya. Yegor, bagaikan dapat merasa tatapan itu, berhenti dan berpaling. Dia membisu, namun Pelageya dapat membaca dari riak wajahnya, dari bahunya yang terangkat, bahawa dia mahu menyatakan sesuatu kepadanya dirinya. Dia menghampirinya dengan malu-malu dan memandangnya dengan mata yang merayu-rayu.
“Untuk kau!” kata Yegor, berpaling tubuh.
Dia hulurkan kepada Pelageya segumpal wang lusuh dan cepat-cepat beredar.
“Selamat tinggal, Yegor Vlasych!” kata Pelageya, mengambil wang itu tanpa perasaan.
Yegor melangkah menuruni jalan panjang itu, terus bagaikan getah yang diregangkan. Pelageya berdiri pucat dan kaku bagaikan patung batu, dan terus menangkap setiap langkah Yegor dengan kedua belah matanya. Tetapi lama-kelamaan, warna merah baju lelaki itu mula bersatu dengan warna gelap seluarnya, langkahnya tidak lagi kelihatan, anjingnya langsung lenyap dari kasut butnya. Hanya topinya yang masih kelihatan, namun… tiba-tiba Yegor membuat belokan kanan menuju ke hutan dan topi itu hilang di celah-celah kehijauan.
“Selamat tinggal, Yegor Vlasych!” bisik Pelageya, dan terus kaku berdiri untuk melihat topi putih itu buat kali terakhir.

Terjemahan Syafiq Ghazali daripada bahasa Inggeris cerpen The Huntsman (1885) oleh Anton Chekhov

0 komentar: