MENULIS SUNGGUH-SUNGGUH DAN MENULIS PURA-PURA
(image from: pinterest.com
Saya mempunyai teman dirinya penulis,
meskipun saya yakin dia bukan penulis. Dia mempunyai banyak sekali
tulisan. Naskah drama, naskah puisi, naskah cerpen, naskah novel, naskah esei,
dan naskah-naskah lain dia punyai. Memang dia hebat.
Akan tetapi, ternyata satu kali pun dia tidak
pernah menerbitkan tulisannya. Setiap kali dia berusaha menerbitkannya, dia
merasa ragu-ragu akan kebolehan tulisannya sendiri. Karena itulah dia
menyibukkan diri dengan menulis kembali naskah-naskahnya. Dia dapat
mengubah-ubah satu naskahnya sampai beberapa kali, kalau perlu sampai puluhan
kali. Akhirnya dia tidak pernah menyelesaikan apa-apa.
Nasib teman saya ini seburuk nasib Prufrock:
selalu bernafsu untuk bertindak, akan tetapi selalu ragu-ragu apakah
tindakannya akan benar. Akhirnya dia tidak bertindak apa-apa, kecuali
mengadakan masturbasi dengan tulisan-tulisannya sendiri.
Teman saya ini berbeda dengan teman saya yang
lain, yaitu seorang penyair yang betul-betul penyair, dan bukannya penyair
pura-pura. Saya pernah bertanya kepadanya: “Bagaimana cara sampean menulis
puisi yang dimuat di majalah-majalah sastra itu?” Jawabannya sederhana: “Asal
saya tulis begitu saja. Ya, asal saya tulis begitu saja.”
Teringatlah saya akan suatu artikel mengenai
Riyono Pratikto. Kalau tidak salah, artikel ini dimuat dalam “Gelanggang”,
lembaran kebudayaan majalah Siasat entah berapa tahun yang lalu. Pada waktu itu
Riyono sedang jaya-jayanya menjadi pengarang cerpen. Menurut artikel ini,
Riyono dapat menulis cerpen langsung dengan mesin tulis, tanpa ancang-ancang
terlebih dahulu. Bahkan Riyono dapat menulis sambil mengobrol dengan teman-teman
dan tamu-tamunya. Sungguh hebat. Riyono tidak perlu mengkonsepkan terlebih
dahulu apa temanya, bagaimana alurnya, bagaimana penokohannya, dan tetek-bengek
lainnya. Semua lahir dengan sendirinya, dalam bentuk siap untuk diterbitkan.
Cerita mengenai Riyono hanyalah contoh kecil
di antara sekian banyak peristiwa lain yang pernah dialami oleh sekian banyak
penulis yang betul-betul penulis. Terceritalah, begitu bangun tidur penyair
Coleridge menulis sajak dengan semangat yang berapi-api. Sajak belum selesai,
pintu rumah Coleridge diketuk tukang rekening. Terpaksalah Coleridge bangkit
melayani tamunya. Seusai tamunya pergi, Coleridge kehabisan semangat untuk
melanjutkan sajaknya. Dan jadilah sajak yang sebetulnya tidak selesai, berjudul
“Kubla Khan”. Penyair John Keats mempunyai pengalaman yang berbeda, sekalipun
hakikatnya sama. Pada suatu hari dia menarik kursi-malas ke bawah pohon rindang
di rumah sahabatnya. Maka terdengarlah olehnya ciut-ciut burung balam. Kemudian
dia tertidur. Begitu bangun, dia menulis sajak dengan semangat yang sangat
tinggi. Sekali gebrak terlahirlah sajak berjudul “Ode to a Nightangle”.
Kalau dilihat sepintas lalu, penulis yang betul-betul
penulis tidak pernah mempunyai persiapan apa-apa. Mereka berbeda dengan teman
saya. Dia selalu mengkonsepkan segala sesuatunya di atas kertas sebelum dia
berangkat menulis. Dan setelah kerja ini selesai, dia mengubah-ubah lagi
tulisannya. Dia mulai dari kriteria, dan terhenti oleh kajian-kajiannya
terhadap kriterianya sendiri.
Tentu saja, penulis yang betul-betul penulis
sebetulnya tidak bisa menulis tanpa persiapan apa-apa. Mereka kaya pengalaman
batin, kepekaan, imajinasi, kemampuan berbahasa, kemampuan bercerita, dan
lain-lain kemampuan. Mereka-reka apa yang akan ditulisnya hanyalah soal kecil
bagi mereka.
Beberapa tahun yang lalu, beberapa penulis
menerjemahkan cerita-cerita asing ke dalam bahasa Indonesia. Kalau tidak salah
mereka adalah Beb vuyl, Mochtar Lubis, dan S. Mundingsari. Saya tidak ingat
betul apakah yang mereka terjemahkan cerita-cerita dari Tiongkok atau dari
Rusia. Mereka mengumpulkan terjemahan tersebut, kemudia menerbitkannya, kalau
tidak salah di Balai Pustaka. Dalam kata pengantar, mereka menceritakan
kebiasaan salah seorang pengarang yang cerpennya mereka terjemahkan. Pengarang ini
mempunyai kebiasaan berjalan-jalan. Pada waktu berjalan-jalan, kadang-kadang
dia mendapat inspirasi untuk menulis serangkaian kata-kata. Semua rangkaian
kata-kata inilah yang kemudian mendorongnya untuk menulis cerpen. Begitu dia
menemukan kata-kata yang pas, cerpennya menggelinding sampai selesai. Dia tidak
memerlukan sinopsis, alur, tema, dan lain-lain sebagai titik tolak.
Memang ada perbedaan antara menulis
sungguh-sungguh dengan menulis pura-pura. Perbedaan ini dapat diandaikan dari
mana sebaiknya orang menarik kereta: menaruh kuda di belakang kereta agar kuda
tersebut mendorong kereta, atau menaruhnya di depan kereta agar kuda tersebut
sanggup menarik kereta.
*”Menulis Sungguh-Sungguh dan Menulis
Pura-pura” adalah salah satu tulisan Budi Darma dalam buku Solilokui-Kumpulan Esei Sastra, Penerbit PT Gramedia, Mei 1983, hal
86-88.
0 komentar: