Menulis Blues di Suratmu
Oleh: Egi Haryanto
– Untuk Corine,
*Sambil mendengar Almost Blues, Chet Baker
Plot 36, No 1.
Kartu pos itu kembali ditempelkan. Setelah lama dibiarkan sendiri di atas meja, di pisah jauh dari surat yang berisi kesedihan seseorang setelah kepergian, setelah kekasihnya berhasil bahagia. Tapi surat itu, juga perangko seharga lima ribu sudah dipertemukan. Tinggal menunggu tukang pos membawa tepat di rumah seseorang dan kabar yang membuatnya tersenyum dengan alasan cukup masuk akal, pada pagi hari.
15:26
Aku tahu ada yang salah dari caraku menyikapi perpisahan ini. Waktu yang lapuk, pertanyaan di dinding dan tahun-tahun merengkuh November ketiga kalinya, masih saja tidak memberi jawab. Frasa Nomina, seseorang pernah menangis di keramaian dan tidak ada satupun dari mereka yang merasa terganggu. Tak satupun peduli.
Sepertinya, salah satu dari kita memang sudah seharusnya berhenti untuk saling meyakinkan. Aku berhenti meyakinkan diri sendiri, atau barangkali kau, dengan caramu meyakinkan aku, membuatnya seolah-olah masih punya punya besar kesempatan.
Aku terlalu lemah,
dan sebelum permainan ini dimulai
kau tahu,
aku tak pernah mengubah langkah.
Sudah jelas kau tahu aku takut menduga. Aku tidak ingin mengira-ngira.
Kau acuhkan lagi pesan ini, pun? Tak apa. Berapa banyak pesan-pesanku yang berakhir di tempat sampah, dibiarkan bercampur dengan sisa-sisa makanan, dan pada akhirnya dibawa ke pembuangan. Berkumpul menjadi semakin besar, terus membesar hingga cukup lelah salah satu dari kita membayangkannya. Lalu berhenti, dan dapat kau saksikan, pesan-pesan itu sekarang tidak lebih sebagai diatesis. Atau kau mau menguraikannya sebagai etika Hegel? Dan semua mendadak wajar, masuk akal dan cukup universal?
Aku tak tak tahu, sekarang kau yang tentukan.
Semenjak aku mengerti wujud
nyatamu ilalang,
tinggi menjulang
dari mata kaki
ke pelupuk mata; Kekasih:
“Tapi tak berjiwa?”
“Iya, memang,” seseorang bergumam
“tidak semua rasa bisa kau telisik menjadi curiga, sekuat apapun kau mencoba, kosong adalah sebenar-benarnya isi.”
“Tapi aku takut ditinggalkan.” Bibirmu tertutup rapat. Malam itu aku tidak pernah mengira kalau hatimu yang menjawab. Di lorong gelap itu, seseorang lain tertawa tanpa pernah memperlihatkan muka.
“Yang datang jangan kau paksa untuk terus singgah.” kecuali kau bangun rumah, pada suatu waktu, pada sebuah tempat yang cukup layak dan punya alasan-alasan kuat agar nanti jika ada yang menanyakannya kau tak bingung menjawabnya.
“Kau pilih mana? Jadi milikku atau milik kesakitanku?”
Pretensius, kau bilang.
Aku masih mendengarkan,
lewat tenor yang di bawa hujan.
Paduan suara yang saling sahut,
di teater—dengan kau sebagai alto—dengan aku sebagai sopran
'Ritmis! Ritmis!' perginya sulit ditebak.
“Di bagian mana?” kau menanyakan itu.
“Matamu.” lagi-lagi aku takut salah jawab.
“Memangnya ada apa?”
“Ada hujan, ada anak kecil, ada sakit yang tidak bisa dibahasakan kata-kata.”
“Jangan becanda!” pelukanmu menghampir sendu; pundakku basah airmatamu.
16:31
Sore ini hujan, Kekasih.
Hujan yang fiktif dan percakapan imajiner yang tidak pernah aku tahu kapan berakhirnya. Semoga kau masih bisa, memakluminya.
(Kebayoran Baru, 19 Oktober 2015)
0 komentar: