Menemukan Sesuatu yang tak Ada
Karya: Egi Heryanto
:Untuk seseorang yang mengingatkan saya pada secangkir kintamani.
“Gi, aku mau kopinya,” perempuan itu memberi jeda
“tanpa gula.” lanjutnya,
dan seperti pernah ditulis seorang sufi, dalam bukunya, aku pernah membaca,
tentang tokoh
yang tidak suka pemanis
untuk hal-hal yang ditakdirkan pahit.
Apalah kita yang memaksa untuk tetap sama,
sedang pergi adalah
sebenar-benarnya nyata.
Paling tidak, itulah yang sering
kau ucapkan 4 masa silam,
ketika daun masih segan
disangga ranting—yang nyaris patah—atau hampir patah.
Kembali ke prolog, dan kau
yang hadir selepas hujan di siang hari
atau sebuah pesan acuh, pada kesempatan lain.
Memaksa aku mengarang tesis,
sedang abjad ini,
tak pernah jadi kesimpulan atas apa yang sempat kau tanyakan,
“Setelah ini, kemana kau akan singgah?”
aku belum menjawab, dan barangkali,
tak akan pernah menjawab.
Di mataku telah tumbuh anak laki-laki.
Tubuhnya tinggi meski tak pernah mendapat ASI.
Ia suka bermain kelereng ketika malam datang,
dan baru akan tidur setelah jarum jam bungkuk.
Di mataku telah tumbuh anak laki-laki.
Ia suka bermain kelereng ketika malam datang.
Ia nakal dan senang melempari kepalaku dengan banyak kelereng,
besar namun
tidak asing.
Di matamu telah lahir sebuah televisi,
dua puluh satu inci,
cukup jelas untuk
melihatku jadi ayah anak-anakmu,
yang kita namai sebagai rindu.
Di matamu telah lahir sebuah televisi,
dua puluh satu inci,
cukup besar untuk
menontonku dalam berita;
seorang laki-laki gila
mencari sesuatu yang tak ada.
(Jakarta, genap 4 masa kepergianmu, 11 November 2015)
0 komentar: