Solilokui Pagi

07.30.00 Unknown 0 Comments

Karya Egi Heryanto

*Sambil mendengar Requiem Op. 48, Gabriel Faure's

Pada suatu pagi, seseorang bertanya 
“Kapan kamu tidur?” sebab dilihat seolah tidak pernah ada waktu pejamkan sepasang matanya.
Jawaban yang absurd itu keluar dari bibirnya
“Barangkali, tidurku adalah sebenar-benarnya bangun. Dan bangunku adalah sebenar-benarnya tidur.”
Kalau begitu, ini mimpi. Sekarang atau nanti, pun tetap mimpi. 
“Tapi dengan begitu aku bisa melakukan apa saja, seperti menjadi dekat tiba-tiba.”

Petrichor, 
bau tanah basah di kota lelaki itu, mengingatkannya pada minggu lalu.
Tapi tak ia temui hal serupa yang membuatnya kelebihan senyum. Kali ini, mungkin dia sedikit cemas, dadanya sesak padahal rokok belum tandas. Ia, dan juga seseorang di keheningan sana, tak pernah tahu, pagi datang dengan cepat membawa dingin yang melindapkan kangen dan ingin.

“Ah jangan sepihak. Aku, pun tak sedang mendesak. Pagi ini biar nikotin menyeruak, asal jangan kau anggap aku besar pasak, agar rindu bisa mengombak atau seperti ornamen awan  resah 
di atas kepalaku; 
mengarak dan beranak-pinak 


(Jakarta, 29 November 2015)

0 komentar: