Meretas Ketidakpastian
Oleh: Egi HMalam ketika suara ayam terdengar terlalu dini berkokok di samping tembok kontrakan. Barisan semut menjemput gula di dalam toples terbuka, cicak tak berekor yang mengawasi nyamuk menjulurkan lidahnya sepersekian waktu lalu melumat tanpa ada rasa kenyang menggembirakan perburuannya. Televisi di atas meja dengan siaran biru sehabis pertandingan bola, kipas angin berputar mengarahkan dingin ke segelas kopi, dan jeda panjang pada lagu Radiohead yang membuat bunyi ceker ayam mengorek tanah kelebihan tempat di sepasang telinga.
Malam ketika waktu menjelma pisau dan jam dinding yang kehilangan akal, membawa fragmen kelam dari dalam kubur–dan menyapa lagi–hadir di saat rasa bersalah sudah tidak dimiliki. Tapi, jauh sebelum itu, pernah sekali dua kali ia datang berlama-lama mengajak bicara. Seperti nada-nada penuntutan atau sesal. Atau kebencian.
Malam ketika buku-buku belum dirapikan, tumpukan pakaian yang dijadikan bantal, lantai kotor bekas abu rokok sebagai alas tidur, dan selembar foto yang abai dipunguti. Bukan soal krisis kebebasan, bukan membicarakan etika terbaik. Hanya sebuah masa, yang begitu jauh dari hari ini, pernah terjadi.
Lalai. Trilogi cinta, persahabatan; dua kubu, benturan, dan sesuatu yang rumit. Putih dan hitam, timur dan tengah, bias dan rona, Corine dan Alina.
Bangun setelah cukup tidur. Membuka mata setelah terkatup lama. Berbicara tanpa kata-kata. Tidak terbantahkan, seseorang butuh belas kasih, secepatnya. kasih sayang, kekasih, dan pelukan yang sempat dibuat; di depan televisi, di kamar tidur, di ruang tamu, di dalam mobil, atau di tempat yang benar-benar asing bagi satu sama lain. Masih ingatkah? masih melupa, kah?
turun ke bawah tanpa dasar, menelisik rasa ingin tahu, dan lumat buah-buah rahasia, lepas dari pembatasnya. Tanpa perlawanan, entah. Hanya terpejam mata, imajinasi menggulung tinggi ke atas dan tebakan-tebakan selalu salah.
Bulat sempurna, keindahan total bukan abstrak meski tetap tidak mampu terbahasakan dengan baik. Merah muda, tipis, manis, lembab, semangka, atau dosa yang diharapkan.
Tapi hujan dan malam brengsek mengurung perut keduanya yang lapar di dalam rumah. Lama, panjang, membosankan. Sehingga kembang api yang sumbunya basah hanya jadi hiasan di samping dapur, juga potret bersusun angka belasan yang mulai jatuh dan kehabisan perekat. Adakah jarak yang tidak bisa dicapai? Apakah yang jauh mesti direngkuh? Apakah yang sudah terkubur bisa muncul? Apakah yang sudah dihapuskan bisa kembali?
Atau sebenarnya ia akan dan selalu ada di dalam diri kita? Tidak berubah dan berada di tempat yang semestinya, tempat yang justru kita ciptakan sendiri untuknya tanpa sadar?
Malam ketika sunyi,
dan ia kini muncul lagi,
sebab aku menghendaki.
Malam ketika aku sendiri,
dan ia kini benar di sini,
sebab aku tak bisa lari
sampai nanti datang wajah pagi.
(Ruang Prahara)
Jog, 7 Sept 2016
0 komentar: