Menjelang Aku Pada Kotamu
Oleh: Egi Heryanto
Beginilah aku,
duduk di kursi belakang bus
jurusan Lebak Bulus-Bandung
membaca November sebagai getir takdir
tanpa menghisap rokok
tanpa kaleng-kaleng beer
tanpa apa-apa.
Beginilah aku,
bajingan khilaf dalam sebuah drama kelas melati atau opera sabun
yang terlalu nekad memutar arah
padahal tahu, sebentar lagi akan tersungkur, pasrah
tapi bus melaju bagai metronom yang stabil
melewati Pasteur, entah terus ke Pasir Koja
atau mendadak berhenti.
di bagian ini,
aku tiba-tiba lupa.
Beginilah aku,
setelah ditampar realitas
yang lantang menggaungkan konsistensi
sebab laki-laki ini begitu tidak percaya diri.
Beginilah aku,
menjejak aspal terminal dengan kaki gemetar
juga sapaan ramah para supir taksi—dan bunyi perut—dan terik—dan ingatan yang tercekik.
Selepas tanda pada bahasa sederhana
telepon genggam seolah mati
atau barangkali tidak dibutuhkan lagi.
Hanya alamat dan bising suara angkot
membawa mata pada tulisan kecil disambut senyum
'Burangrang!'
disitu tempatmu, batinku seketika.
Beginilah aku,
bersama tiga, empat putaran
jarum panjang arloji,
daya ponsel yang tinggal menunggu pemakamannya,
dan pesan singkat
“aku sudah di depan”
menjadi kesibukan lain yang kutafsirkan,
sebab, aku begitu terhibur,
dengan caramu,
membuatku menunggu.
Beginilah aku,
setelah hujan turun gantikan terik,
pelan,
membunuh ramai hadirkan sunyi.
Beginilah aku,
masih duduk di kursi yang sama,
sejurus hadapkan mata pada seberang jalan,
dengan banyak wajah mulai
menghias gerbang sekolah.
Mereka tampak tergesa-gesa,
barangkali karena hujan, yang belum sepenuhnya reda.
Kutemukan kau pada ramai yang kembali surut.
mata kita saling tatap,
tapi tak pernah satupun langkah menghampir.
Kau di seberang
dan aku di kursi yang masih sama.
Begitulah kita.
senyum dan lambaian tangan,
tidak pernah habis jadi oleh-oleh yang kauberikan
sebelum mobil itu menjemput pulang,
berlalu dalam deru juga debar dada.
Membawamu hilang,
meninggalkan aku dengan gumam
“Paling tidak, dia baik-baik saja”
tidak berubah, dan masih sama
seperti saat dulu aku mengenalnya.
Gerimis samarkan tangis; aku tertawa.
Beginilah aku,
duduk di kursi belakang bus arah Jakarta
membaca November
sebagai damai selepas pergolakkan.
Tanpa rokok,
tanpa kaleng-kaleng beer.
Sebab,
hanya ada senyum dan tangan melambai dalam bingkisan rapi
tersimpan hati-hati.
Sejak hari itu Bandung adalah hal tabu, atau pertanyaan rumit pada kolom teka teki silang sebuah koran.
Sejak hari itu ada yang tertinggal di kotamu.
Adalah aku,
yang sengaja menjatuhkan diri
sebelum bus benar-benar berhenti.
agar bisa menyebutmu sebagai singgah
senyaman rumah, sekali lagi.
tempat aku kembali.
(19:21, Terminal Lebak Bulus, 9 November 2013)
0 komentar: